MITOLOGI KEBERADAAN KAMPUNG ADAT HELANGDOHI KECAMATAN PANTAR KABUPATEN ALOR-NTT DALAM PERPEKTIF SEJARAH

 


                               Oleh : Jakaria M. Sali

A. PROLOG

Kejadian air bah menjadi hal menarik perlu untuk diperhatikan, terutama pada pasca peristiwa naas yang menimpa manusia tersebut, yang dalam perperspektif teologi merupakan ancaman Tuhan pada manusia yang ingkar (kafir) pada kebenaran yang telah di gariskan oleh-Nya. Sehingga Tuhan memberikan ancaman berupa kejadian alam yang menewaskan manusia dalam jagad ini. Namun dari kejadian naas tersebut ada manusia yang selamat dan membentuk sejarah baru bagi mereka. 

Baik dari sisi Teologi ataupun dari antropologi, melalui cerita-cerita rakyat yang diwariskan secara turun temurun pada setiap generasi, tentu memiliki jejak rekam yang perlu diapresiasi hingga cerita itu diterima oleh manusia saat ini. Cerita rakyat itu bisa berupa hikayat, atau dongeng berupa legenda sebagai pengantar tidur bagi anak-anak yang usianya masih sebaya, namun cerita-cerita itu bukanah pepasan kosong tanpa makna, namun ia sebagai tradisi pewarisan pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia terutama pada masyarakat tradisional, sebelum manusia menemukan tulisan sebagai simbol yang tertata rapi yang memiliki makna seperti saat ini.

Proses transformasi pengetahuan manusia melalui cerita adalah tradisi pewarisan nilai bagi masyarakat Indonesia, terutama masyarakat Indonesia bagian timur yang tidak memiliki tradisi tulis menulis, seperti halnya daerah lain yang peradaban tulis menulisnya jauh agak lebih maju dibandingkan dengan daearah Indonesia timur. Sehingga tradisi pewarisan nilai yang kita jumpa di Indonesia bagian timur itu hanya dua macam, yaitu : 1) Melalui cerita berupa dengeng dan lain sebagainya; dan 2) melalui nyanyian atau syair-syair sebagai bagian dari warisan budaya melayu yang merekat kuat dalam kehidupan Indonesia Timur (NTT).  

Salah satu cerita yang ingin diungkap oleh penulis melalui tulisan ini adalah tentang Mitologi Keberadaan Kampung Adat Helangdohi yang berada di Kecamatan Pantar, Kabupaten Alor-Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), yang dalam perspektif mereka bahwa kampong tersebut keberadaannya setelah kejadian air bah. 


B. MITOLOGI KAMPUNG ADAT HELANGDOHI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

Helang-Dohi merupakan sebuah kampung adat yang yang secara administrasi berada di Kecamatan Pantar, Kabupaten Alor – Provinsi Nusa Tenggara Timur yang jarak tempuh dari ibukota Provinsi (Kota Kupang) Kurang lebih 20 jam perjalanan menggunakan transportasi laut dan menggunakan jalur udara kurang lebih 45 menit dari Kupang ke Kota kalabahi (ibu kota) Kabupaten Alor. Kemudian menggunakan perjalanan laut selama 2 jam lebih. Helangdohi berada di ketinggian kurang lebih 1000 kaki dari permukaan laut.

Dalam suatu observasi yang pernah dilakukan oleh penulis pada bulan April 2019 lalu, penulis menjumpai salah satu sesepuh adat Helang-Dohi, dimana kami singgah di salah satu rumah adat helangdohi yaitu rumah adat Suku Umah Being disitulah penulis menemui salah satu sesepuh yang bernama Bonefus Behar, dan kami membincangkan hal tentang keberadaan kampung adat Helangdohi yang terdapat di Kecamatan Pantar Kabupaten Alor tersebut. 

Pada saat kami tiba di rumah adat suku Uma Being, kami disambut dengan tradisi penyambutan tamu sebagaimana biasanya dilakukan pada tamu-tamu lain yang berkunjung ke daerah Helangdohi, salah satu keunikan yang tersimpan hingga saat ini yaitu dimana para tamu disuguhin Sopi (arak lokal), minuman beralkohol khas masyarakat lokal NTT, dan setiap tamu yang berkunjung kedaerah tersebut disambut dengan cara yang demikian, kecuali pengunjungan bersifat biasa, tapi kalau kedatangannya secara formil maka tradisi penyambutan semacam itu tetap dilakukan sebagai warisan kebudayaan yang terus dilakukan dari dulu hingga saat ini. Pada saat meminum arak secara bergiliran mengikuti arah jarum jam, dan sang sesepuhpun memanjatkan do’a kepada Tuhan dan para arwah leluhur untuk kebaikan untuk sang tamu yang berkunjung ke kampung adat Helangdohi tersebut.

Setelah penjamuan sang sepuh Bonefus Behar mulai menceritakan keberadaan Kampung adat Helangdohi kepada kami. Berikut ini adalah cerita tentang awal mula keberadaan kampung adat Helangdohi yang diceritakan oleh beliau, walaupun sebelumnya penulis juga sudah banyak mendengar dari beberapa sumber lain tentang sejarah keberadaan kampung adat Helangdohi yang penulis kunjung kala itu.

Menurutnya bahwa kampung adat Helangdohi ada setelah kejadian air bah yang pernah melanda umat manusia, dan nama kampungnya sendiri diambil dari nama dua anak manusia yaitu nama Helang (anak perempuan) dan nama Dohi (anak laki-laki), yang menurut cerita lokal bahwa kedua anak tersebut di jumpai setelah kejadian air bah oleh Bapak Mau Lelang Dosi.

Kejadian air bah yang pernah menimpah mereka, berawal dari suatu pertanda yang tersampaikan melalui mimpi yang dialami oleh Bapak Mau Lelang Dosi bersama istrinya yaitu Sirring Birri Inang, kedua orang ini menurut cerita lokal bahwa mereka merupakan orang pertama yang menempati tanah yang sekarang disebut tanah Helangdohi. Pada suatu malam kedua orang ini bermimpi, seolah mimpi tersebut adalah berita dari langit yang perlu mereka waspadai. Pesan dari mimpi tersebut menyebutkan kepada mereka bahwa nanti tanah atau daerah yang mereka tempati akan mengalami kerusakan (tanah ke akan date), dan dalam mimpi tersebut mereka diperintahkan untuk membuat tempat perlindungan agar mereka terselamat dari bencana yang akan menimpah daerah tersebut. 

Pesan dari mimpi tersebut, pada keesokan harinya Bapak Mau Lelang Dosi mengunjungi daerah-daerah yang ada disekitar Helangdohi, maka pertama kali ia mengunjungi daerah Paolonggo daerah bagian barat dari kampong Adat Helangdohi, yang sekarang masuk dalam wilayah administrasi Desa Pandai Kecamatan Pantar, dan daerah Dekopira bagian utara dari Desa Helangdohi, dari kunjungan tersebut ternyata penghuni dari kedua kampung tersebut juga memiliki mimpi yang sama dengan apa yang dimpikan Bapak Mau Lelang Dosi dan Istrinya Siri Biring Inang.

Setelah membincangkan mimpi mereka masing-masing, maka mereka mulai mengambilkan langkah antisipatif agar mereka terselamat dari bencana yang akan melanda daerah mereka tersebut. Maka ada yang menanam pohon berbentuk bundaran dan mengepul alang-alang dengan tujuan sebagai benteng perlindungan ketika kejadian air bah itu datang mereka terselamat darinya.

Dan menjelang beberapa hari kemudian munculah kejadian alam yang amat dahsat menimpa daerah mereka, maka muncullah angin ribut, hujan dan badai yang teramat dahsyat dan naiklah air laut, kejadian itu terhjadi selama empat puluh hari empat puluh malam, maka daerah merekapun terluluh lanta, dan rata dengan tanah, seolah tidak ada kehidupan lagi, dan mereka harus mengawali dari sesuatu yang baru.

Setelah kejadian tersebut Bapak Mau Lelang Dosi mulai jalan mengecek daerah yang pernah ia kunjungi sebelum kejadian air bah tersebut, maka iapun mengambil hoka (tempat siri pinang) dan mengenakan golok beserta sarungnya dibagian dipinggangnya (hawal), serta membawa tombak (taraeng). Dan tempat pertama yang ia kunjugi adalah daerah Paolonggo, ketika tiba di daerah tersebut, ia tidak menemukan tanda-tanda kehidupan, semuanya sirna hancur berantakan setelah kejadian mengenaskan tersebut, namun ia menemukukan gumpulan alang-alang (luo opol tou), maka ia sambil memukul tombak yang ia bawa tersebut ketumpukan alang-alang sambil menanyakan :


Luo opol tou kia, na nedang ada hari ada e lahe?

(Tumpukan alang-alang ini, apakah ada orang atau tidak?)      


Maka orang yang berada dalam gudukan alang-alang tersebut menjawab bahwa “ ada”, maka merekapun disuruh untuk keluar dari gundukan alang-alang tersebut, maka keluar dua orang suami-istri yaitu Koli Nusang dan Bui Lomang, dan merekapun disuruh oleh Bapak Mau Lelang Dosi untuk menetap di daerah tersebut, dan ia pun melanjutkan perjalan.

Selanjutnya bapak Mau Lelang Dosi melanjutkan perjalananya, maka datang di daerah Ndari ia menemukan kedua bayi mungil yang masih kecil yang ada di atas batu, maka Ia pun melanjut perjalanan menuju ke daerah Dekopira, maka ia menemukan sebuah Mahadang (tempat tinggal), maka ia pun bertantanya sambil memukul tombaknya ketempat tersebut, sambil menanyakan :


Mahadang kia, na nedaang ada, hari ada e lahe”

Mahadang ini, apakah ada orangnya atau tidak?


Maka orang yang berada di dalam Mahadang tersebut menjawab bahwa “ada”, dan merekapun disuruh keluar dari tempat perlindungan mereka oleh Bapak Mau Lelang Dosi, maka merekapun keluar, bahwa hujan sudah reda maka silakan keluar, maka orang yang berada dalam mahadang itupun keluar, orang tersebut adalah Bapak Kopong dan Istrinya, maka iapun menceritakan perjalanannya mengecek tempat setelah kejadian alam yang menimpa mereka tersebut.

Setelah ia menceritakan perjalannya tersebut kepada bapak Kopong dan istrinya, maka iapun menyuruh mereka untuk segera datang mengambil kedua anak di daerah Ndari, untuk diasuh oleh mereka di Dekopira. Dan merekapun mau dan bergegas untuk datang mengambil kedua bayi tersebut untuk diasuh di daerah dimana mereka suami istri tinggal, tapi, dengan syarat bahwa setelah kedua bayi tersebut mencapai usia dewasa mereka akan dikembalikan ketempat asal mereka, yaitu daearah Ndari. Dan setelah mereka mengambil kedua anak itu untuk diasuh sebagamana seperti anak mereka sendiri, maka kedua anak ini diberi nama Helang dan Dohi, Helang bagi bayi perempua dan Dohi bagi bayi laki-laki.

Setelah keduanya telah mencapi usia dewasa maka Bapak Kopong dan istrinyapun kembali melepaskan mereka sebagaimana perjanjian yang mereka ucapkan bersama Bapak Mau Lelang Dosi. Maka mereka Helang dan Dohi dihantarkan untuk datang tinggal di daerah dimana mereka ditemukan pertama kali oleh Bapak Mau Lelang Dosi, maka mereka diantarkan datang kedaerah tersebut dibawah satu pohon yang disebut dengan pohon Ndari, dan kemudian mereka dilepaskan di bawah pohon tersebut, dimana pohon tersebut diabadikan dan dikeramat oleh masyatrakat Adat Helangdohi hingga saat ini, dan pohon tersebut menurut masyarakat setempat bahwa tidak ada perubahan bentuk (tumbuh) dari dulu hingga sekarang masih tetap seperti semula, walaupun sudah bergantian ratusan generasi.

Ketika mereka dilepaskan dibawah pohon Ndari, dan kemudian mereka menikah dan hidup dalam satu rumah tangga yang penuh rukun dan damai, dan memiliki keturunan, dan pada saat itu pulah tanah itu berbah namanya menjadi nama Helangdohi, sebagai kampung adat yang banyak juga dikunjungi oleh banyak pengunjung, baik itu masyarakat lokal NTT sendiri, nasional atau bahkan dari manca Negara pun pernah datang daerah tersebut, sekaligus menelilti tentang berbagai hal yang menyangkut dengan kampung adat Helangdohi yang berada di Kecamatan Pantar, Kabupaten Alor- provinsi NTT.

Dari perkawinan antara Helang dan Dohi ini menghasikan beberapa keturunan, yang kelak dibagi dalam beberapa suku yang mendiami tanah Adat Helangdohi. Keturunan mereka yang pertama adalah Mau Dohi dan Bako Dohi, namun Bako Dohi meninggal pada saat usia masih muda, dan yang ada hanyalah Mau Dohi, Mau Dohi memiliki anak yang diberi nama Kari Mau. Kari Mau memiliki anak yang diberi nama Hirang Kari, dan Hirang Kari memiliki dua istri.

Istri pertama memiliki empat orang anak : 1) Duli Hirang yang melahirkan keturunan suku Uma Being, 2) Karotong Hirang yang melahirkan suku Uma Aring; 3) Koli Hirang yang melahirkan suku Marrang/tentara atau kapitang larang; dan 4) Subang Hirang. Sedangkan istri kedua melahirkan dua orang anak laki yang melahirkan dua suku yaitu suku uma tukang dan suku uma aring. 

Dari ketujuh suku dari satu keturunan yang sama ini, berkembang biak menempati tanah Adat Helangdohi, bukan cuman saja mereka tersebar di daerah mereka sendiri (Helangdohi), namun mereka juga tersebar di daerah sekitar mereka melalui jalur perkawinan dan lain sebagainya, atau melalui migrasi dari satu kampung kekampung lain. Sehingga keturunan dari helang dan dohi ini kebanyakan tersebar di tiga desa yang ada di Kecamatan Pantar Kabuupaten Alor, yaitu Desa Helangdohi, Desa Munaseli dan Desa Bana, ketiga desa inilah merupakan ketrunan terbanyak dari Helang dan Dohi sebagai nenek moyang nenek moyang mereka.  


C. Epilog

Dari paparan singkat tentang Mitologi Keberadaan Kampung Adat Helangdohi Dalam Perspektif Sejarah, yang penulis ulas secara sederhana dan tidak ilmiah, ini memiliki konklusi dasar yang perlu kita perhatikan, yaitu : (1) Keberadaan Kampung Adat Helangdohi secara administratif berada di Kecamatan Pantar Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur, dan keberadaan kampung adat Helangdohi tersebut, ada setelah kejadian air bah sebagaimana tuturan atau cerita yang dipegang secara turun temurun oleh masyarakat adat Helangdohi.(2) Asal muasal nama kampung adat ini sendiri diambil dari nama orang yaitu Helang dan Dohi, dan nama mereka diabadikan menjadi nama kampung yaitu Kampung Adat Helangdohi oleh  anak keturunan mereka yang berjumlah tujuh suku, yang mendiami tanah adat Helangdohi hingga saat ini.


Selamat Membaca…!!!


Kupang, 25April 2019

Komentar

Postingan Populer