RELASI ANTARA ISLAM DEMAK, ISLAM TARNATE DAN ISLAM BARANUSA


Oleh: Jakaria M. Sali

A. Prolog

Tema yang penulis ketengah ini menjadi hal yang butuh kajian secara serius dan mendalam tentang relasi historis perkembangan Islam di antara ketiga wilayah tersebut, yaitu Demak, Tarnate dan Baranusa. Ketiga daerah tersebut menjadi suatu kajian tentang apa yang disebut oleh para ahli dengan istilah Islam Kawasan, seperti apa yang pernah dilakukan oleh Clifort Geerzt tentang Islam Jawa, yang menghasilkan tiga klasifikasi Islam yang yaitu Islam santri, abangan dan priyai yang menjadi kesimpulan dasarnya. Dan termasuk didalamnya juga ia mengungkapkan antara Islam jawa dengan Islam Marokok menjadi tema besar studi tentang Islam kawasan melalui buku tersebut.

Hal senada juga dilakukan oleh Mark R. Worward tentang Islam Jawa, yang mencoba untuk mengungkap relasi historis antara Islam yang ada di Pulau Jawa dengan Islam yang ada di daerah Karela (Islam Karela) yaitu india bagian utara yang memiliki mata rantai persebaran Islam yang tidak bisa di pisahkan baik dari sisi historis persebaran atau pada tradisi keagamaan Islam yang dimiliki oleh kedua wilayah tersebut (Islam Jawa dan Islam Karela) serta artefak-artefak historis diantara kedua kawasan Islam tersebut.

Relasi-relasi historis tersebut sebagai kerangka analisis untuk menghubungkan satu kawasan dengan kawasan yang lain, dalam konteks persebaran Islam melalui misi dakwah termaktub dalam teks suci keislaman (Al-Qur’an dan Al-Hadits).

Dalam konteks ini penulis juga ingin mengketengahkan kerangka yang sama untuk menganalisis persebaran Islam yang ada di daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) khususnya yaitu daerah Baranusa, Kecamatan Pantar Barat, Kabupaten Alor, yang dalam tanda petik belum tersentuh secara mendalam pada pengkajian kawasan-kawasan Islam yang ada di daerah Nusa Tenggara Timur.

Maka dalam tulisan sederhana ini penulis mencoba untuk menghubungkan antara ketiga kawasan tersebut, yaitu Islam Demak. Islam Tarnate dan Islam Baranusa yang dalam hemat penulis memiliki relasi historis yang mengakar kokoh, tapi masih tertimbun oleh waktu dan luput dari pengkajian para ahli, semoga tulisan ini bisa menggugah nurani kita semua untuk mengkaji relasi antara ketiga kawasan Islam tersebut dalam proses persebaran Islam pada empat abad silam hingga saat ini. 

   

B. Relasi Antara Islam Demak, Tarnate dan Baranusa

Berbicara tentang ketiga kawasan ini cukuplah amat berjauhan antara satu dengan yang lainnya, namun dalam konteks persebaran Islam diantara ketiga kawasan ini saling bertalian antara satu dengan yang lainnya. Maka dalam tulisan ini penulis menggunakan tiga pendekatan untuk melihat Relasi antara Islam Demak, Islam Tarnate dan Islam Baranusa, ketiga pendekatan itu ialah : Pertama, Pendektan Sejarah (historis), Kedua, pendektan ajaran dan pola keberagamaan, dan Ketiga, Pendektan arsitektur bangunan peribadatan yang dimiliki oleh ketiga kawasan tersebut.



1. Pendekatan Sejarah (Historis)

Berbicara tentang Islam Demak tentu yang terbersit di pikiran kita adalah tentang bangunan masjidnya yang khas dengan atap bersusun tiga sebagai simbol dari Iman, Islam dan Ihsan dengan empat tiang utama sebagai penyangga sebagai simbol dari empat para sahabat Nabi Muhammad Saw. sebagai pemegang tampuk kekuasaan agama dan politik (Negara) paska wafatnya Rasulullah Saw. Bentuk bangunan masjid demak merupakan perpaduan antara kebudayaan Islam, kebudayaan Jawa dan kebudayaan Tionghoa. Perubahan struktur bangunan (rehab) mengikuti pola modern dengan tidak merubah bentuk khasnya yang lama yang tinggalkan oleh para penyebar Islam awal (Wali Songo), dan tetap mempertahankan khazanah lama masjid hingga saat ini. hal ini dilakukan sebagai bentuk penghargaan terhadap warisan kebudayaan yang ditinggalkan oleh leluhur atau para auliyah yang menyebar Islam awal di tanah Jawa kala itu.

Dalam literatur-literatur sejarah tentang persebaran Islam di Indonesia yang dilakukan oleh Wali Songo terutama di pulau Jawa. Hal pertama yang mereka lakukan adalah membangun sentral pergerakan Islam yang akan menjadi tempat syi’ar Islam itu sendiri yaitu masjid, dan masjid pertama yang dibangun oleh Wali Songo adalah masjid agung Demak yang hingga hari ini masih terkihat kokoh dan megah sebagai ikon demak itu sendiri.

Wali Songo inilah yang melakukan dakwah dengan pendekatan budaya (akulturasi) pada kebudayaan masyarakat setempat yang mereka hadapi, dengan mengedepan akhlak dan prilaku yang positif dihadapan para mad’u yang mereka dakwahkan, sehingga masyarakat jawa kala itu dapat menerima ajaran Islam dengan baik, tanpa adanya perlawanan (resisten) baik secara fisik atau pemahaman pada ajaran Islam yang bahwah oleh para Wali Songo tersebut.

Diantara kesembilan wali tersebut, yang bertanggung jawab atas persebaran Islam yang ada di Indonesia bagian timur adalah Sunan Giri, Sehingga beberapa santri yang diutus dari Indonesia timur untuk belajar Islam kepada Sunan Giri di Kedaton Giri, sebagai tempat sunan giri mengajar santrinya mengaji. Peranan Sunan Giri pada penguatan Islam di wilayah Indonesia bagian timur, dapat dijumpai dalam salah satu cerita yang ditulis oleh M.C. Ricklefs dalam bukunya Sejarah Indonesia Modern mengungkapkan beberapa data yang berhubungan dengan pembelajaran Islam yang dilakukan oleh orang Indonesia timur kepada Sunan Giri, temasuk kala itu. yang diutus untuk belajar Islam kepada Sunan Giri adalah Sultan Cengkeh atau Sultan Zainal Abidin dari kesultanan Tarnate, yang sekarang berada dalam wilayah administrasi Maluku Utara. Ia bersama beberapa teman lainnya, dan salah satu diantaranya adalah Kaki Ali, mereka inilah kemudian akan menjadi corong persebaran Islam di Tarnate kelak dan menjadi penguat pada Islam sudah ada di ternate itu sendiri.

Disamping itu ada juga keterangan lain menyebutkan bahwa persebaran Islam di Ternate dilakukan oleh muridnya Sunan Giri sendiri yaitu Datuk Maulana Husain dari Minangkabau, ia berhasil mengislamkan salah satu sultan Tarnante yaitu Marhum (1464-1489 M) yaitu ayah dari Sultan Zainal Abidin, sehingga mata rantai persebarannya itu dilanjutkan oleh anaknya sendiri yaitu Sultan Zainal Abidin, dan pada masa Zainal Abidin itulah konsep atau gelar kerajaan dari kata Kolana/raja diganti dengan gelar Sultan. 

Dari sini bisa diduga bahwa Kolana Marhum mengutus Zainal Abidin dan beberapa orang lainnya untuk mendalami agama Islam lebih dalam lagi di pulau Jawa bersama Sunan Giri dan beberapa orang temannya yang sama-sama berasal dari Tarnate dengan membawa upeti berupah cengkeh yang dihadiahkan kepada Sinan Giri, sehingga sultan Zainal Abidin di gelar juga dengan istilah Sultan Cengkeh.

Tarnate merupakan salah satu kerajaan di Maluku yang secara geografis berada di Maluku bagian Utara, bersamaan dengan tiga kerajaan lainnya yaitu Kerajaan Tidore, Kerajaan Bacan dan Kerajaan Jailolo. Diantara keempat kerajaan ini berasal dari satu keturunan yang sama, sebagaimana di tuturkan dalam cerita lokal yang banyak di kutip oleh para penulis. Seperti yang ditulis oleh Rusdiyanto dari IAIN Manado yang termuat dalam Jurnal Qalam-Journal Islam of Pluarality volume.3 No.1 2018. Dimana ia menyebutkan bahwa keempat kerajaan itu dari satu keturunan yang sama yaitu dari seorang yang bernama Ja’far Shadeq atau Ja’far Noh yang berasal dari Arab, beliau datang ke Maluku dan ia menikahi putri dari kayangan yaitu putri paling bungsu dari tujuh bersaudara yang diberi nama Tasuma atau Nur Safa.

Dimana dalam cerita lokal dikatakan bahwa Nur Safa bersama tujuh saudaranya datang dari kayangan dan mandi di bumi tepatnya yaitu di danau Gunung Gapi, dan kebiasaan mereka ketika mandi mereka melepaskan sayap-sayap mereka layaknya kita melepaskan pakian dari badan. Pada saat mereka meletakkan sayap mereka untuk mandi, sang Ja’far Shadeq pun mengambil salah satu sayap dari ketujuh putri kayangan tersebut, dan sang putripun tidak bisa kembali ketempat asalnya besama saudara-saudaranya yang lain, dan pada saat itu pulah ia berubah layaknya seperti manusia biasa, dan ia diberi nama Nur Safa dan menikah dengan Ja’far Shadeq.

Dari pernikahan tersebut mereka dikarunia delapan orang anak, empat laki-laki dan empat orang perempuan masing-masing diberi nama : Buka, Darajati, Masyhur Malamo dan Suhajat (anak laki-laki), dan keempat putri yaitu Siti Deve, Saharnawi, Sadarnavi dan Sadnawi. Keempat putra Ja’far Shadeq tersebut itulah yang akan memimimpin empat kerajaan besar yang berada di Maluku yaitu kerajaan Tarnate, Tidore, Makian dan Moti sebagai suatu persekutuan walaupun memiliki kekuasaannya masing-masing. Persekutuan diantara keempat kerajaan itu di namakan dengan istilah “Maluku Kie Raha”, dan seiring berjalannya waktu dua diantara dari kerajaan tersebut yaitu kerajaan Makian dan Moti berubah namanya  menjadi kerajaan Bacan dan Kerajaan Jailolo karena faktor migrasi wilayah yang dilakukan oleh kedua kerajaan tersebut, sehingga terjadi perubahan pada nama kerajaan mereka.

Berbicara relasi antara Islam Demak, Islam Ternate alangkah baiknya juga kita berbicara tentang silsilah kerajaan Tanate, yang memiliki relasi historis dengan Islam Baranusa yaitu dari leluhur mereka yaitu Ja’far Sahadeq memiliki anak bernama Masyhur Maulamo (1257-1272 M), setelah itu dilanjutkan oleh Kaicil Yamin (1272-1284 M), dilanjutkan lagi oleh Kaicil Siale (1284-1298 M), dilanjutkan lagi oleh Kamalu (1298-1304 M), dilanjutkan lagi oleh Kaicil Ngara Lamo (13404-1317 M), dilanjutkan lagi oleh Patsyara Malamo (1317-1322 M) dilanjutkan lagi oleh Sida Arif Malamo (1322-1331 M), dan pada saat Arif Malamo mengalami kevakuman, dan nanti dilanjutkan lagi oleh Bayanullah pada tahun (1350-1375 M), setelah bayanullah kekuasaannya dilanjutkan oleh Marhum (1465-1489 M), pada masa inilah kerajaan ternate mulai bersentuhan dengan Islam oleh muridnya Sunan Giri bernama Datuk Maulana Husain dari Minangkabau, kemudian kekuasan Tarnate dilanjutkan lagi oleh Zainal Abidin (1489-1500 M), pada masa Zainal Abidin inilah terjadi perubahan istilah raja (Kolana) berubah menjadi gelar Sultan bagi orang yang menduduki tampuk kekuasaan (raja).

Dan setelah Sultan Zainal Abidin kekuasaan ternate dilanjutkan oleh Sultan Bayanullah atau Sultan Bayan Sirnullah (1500-1522 M), pada masa Bayanullah inilah Potugis mulai menginjak kakinya pertama kali di tanah Maluku, kemudian kekuasan dilanjutkan lagi oleh Deyalo (1522-1529 M), setelah itu Bahayat (1529-1532 M), kemudian dilanjutkan lagi oleh Tabariji (1532-1535 M), kemudian kekuasaan dilanjutkan  oleh Sultan Khairun Jamil (1533-1570 M), pada masa inilah Tarnate mengalami goncangan dalam stabilitas politik, namun orang-orang Portugis berusaha untuk membunuhnya dengan cara mengundang Sultan Khairun untuk penjamuan makan malam di tempat orang-orang Portugis dan mereka membunuhnya dengan cara yang keji pada saat Sultan Kharun memasuki gerbang Porutugis.

Setelah wafatnya Sultan Khairun kekuasaan Tarnate dilanjutkan oleh anaknya yaitu Sultan Babullah, dan sultan Babullah melakukan perlawanan (perang) dengan Portugis. Dan pada masa beliaulah juga Portugis mulai ingin mengusai kayu Cendana yang ada dipulau Timor yang sekarang berada di wilayah NTT sekarang, dengan cara mereka (Portugis) membangun pangkalan Militer mereka di daearah Flores bagian timur (Solor). Pada saat yang bersamaan juga Sultan Babullah mengutus beberapa orang untuk menuju ke pulau Timor, tetapi mereka singgah di Pulau Alor-Pantar. Termasuk yang pertama di utus oleh Sultan Babullah  kala itu adalah Imam Muchtar Likur bersama Bilalnya yang bernama Abdul Kadir Al-Jufri, sebagai orang yang sangat setia kepada sang Imam, dalam perjalanan dari ternate atau kepulauan Maluku datang ke tanah yang menjadi tempat tujuan mereka dengan menggunakan perahunya yang bernama Arkiang, sang Imam datang dan singgah tepatnya di Pulau Pantar yaitu diteluk Blangmerang sekarang dan bersandar di pantai yang disebut “Ka Resi” disinilah mereka bertemu dengan penduduk lokal yaitu Suku Kawadde sekarang berada di daerah Abbang Ka, dan masuk kedalam wilayah Kecamatan Pantar Tengah Kabupaten Alor-Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dimana pada saat itu orang-orang Kawadde hendak mencari ikan di laut dengan peralatan tradsional seadanya. Dan dimana kebiasaan yang mereka miliki adalah mereka kala itu masi memakan barang (ikan) dalam keadaan mentah tanpa diolah sedikitpun, sehingga cita rasa ikan sangat berbeda jika dikonsumsi.

(Foto Mesjid Raya Baranusa | gambar diambil sekitar Tahun 1990 an)

Namun pada saat ketika mereka berjumpa dengan sang Imam, Imam Muchtar pun memberikan ikan yang telah diolah melalui proses pembakaran kepada mereka dan mereka mengkonsumsinya, dan mereka mengatakan kepada sesama bahwa ikan yang diberikan oleh sang Imam itu lebih lezat dibandingkan dengan Ikan yang biasa konsumsi secara langsung tanpa ada proses olahan. Pada saat itu pulalah sang Imam pun memberikan api kepada mereka sebagi media dalam pengolahan makanan yang akan mereka konsumsi terutama ikan yang meraka tangkap, maka hubungan mereka dengan Imam Muchtar seolah menjadi hubungan keluargaan yang akrab, ditambah dengan kelak dikemudian hari terjadi perkawinan antara sang Imam bersama saudara perempuan lokal dari suku Kawadde itu sendiri, yang akan semakin mereprerat hubungan kekeluargaan dari suku Kawadde dan keturunan Imam Mukhtar yang tetap terjaga hingga hari ini.

Dari pertemuan itu, orang dari suku Kawadde lalu menghantar sang Imam bersama bilalnya menuju ke kerajaan Siggang untuk bertemu dengan raja Siggang yaitu Raja Rupa Take yang bergelar “King Dali Wato Dali”. Dari pertemuan tersebut kemudian. sang raja mengganggap bahwa sang Imam bersama Bilalnya dianggap sebagai orang suci atau orang langit yang membawa pesan Tuhan kepada mereka, Maka sang Raja lalu memberikan sebidang tanah kepada Imam Muchtar Likur dan Bilalnya untuk membuat tempat tinggal dan mengajarkan ajaran yang mereka bawa tersebut kepada masyarakat Siggang kala itu yaitu mengajar mengaji, dan tempat yang ditempati oleh Imam Muchtar Likur bersama bilalnya tersebut diabadikan menjadi nama Abbang Qora’ah (Kampung Qur’an), sekarang menjadi kebun yang digarap oleh Bapak Aludin Mau, dan Abbang Qora’ah sendiri masuk kedalam wilayah admistrasi Desa Piringsina Kecamatan Pantar Barat Kabupaten Alor-Provinsi Nusa Tenggara Timur. 

Menjelang tahun berikutnya kemudian datanglah utusan dari Sultan Babullah yang kedua, sekaligus menerapkan ajaran tentang khitanan kepada masyarakat yang hendak menerima ajaran yang mereka dakwahkan, mereka bertolak dari Ternate menggunakan perahu Mandawala dan Perahu Tumaninah dalam jumlah yang agak cukup banyak, namun belum ada keterangan secara lisan yang menjelaskan berapa jumlah mereka yang sebenarnya masih dalam tanda Tanya hingga saat ini. mereka ini disebut rombongan Lima Gogo, dan Jou gogo yang bersama rombongannya singgah di daerah yang bersamaan dengan Imam Mukhtar Untuk melanjutkan dakwah mereka. 

Menurut Bapak Tabang Kusing bahwa awal mulanya mereka datang dari Tarnate, mereka tiba di Alor kala itu tepatnya di daearah Nuha Kae (Tarnate Kecil) sekarang menjadi Desa Pulau Buaya Kecamatan Abal Kabupaten Alor NTT. Kemudian mereka berlayar singgah di Hirang Wutung kabupaten Alor Selatan sekarang (Buraga), kemudian mereka melanjutkan lagi berlayar menuju Soyang (Pantar Bagian Barat), kemudian masuk ke daerah Gelu Bala (Teluk Blangmerang), dan singgah di pantai Hulor Wutung. Kelompok kedua inilah membawa peralatan untuk persebaran Islam yaitu Pisau yang digunakan untuk menyunatkan kaum laki-laki yaitu pisau Takuata (Taqwa), Mushaf Al-Quran dari kulit kayu yang betuliskan tangan, dan Teks Khutbah Juma’at dan hari raya, dan Tongkat yang digunakan sebagai simbol seruan untuk melaksanakan sesuatu hal yang berhubungan dengan ritual keagamaan. 

Pada saat mereka singgah di Hulor Wutung yaitu daerah Gelu Bala atau Banyyang Onong, daerah ini belum ditempati oleh siapapun, semua orang berada di Siggang yaitu suatu kerajaan kecil yang dipimpin oleh Raja Rupa Take sebagaimana telah disampaikan di atas, maka bertemulah mereka dengan Imam Muchtar dan mereka mulai melanjutkan misi dakwah islam mereka dan pembagian akan tugas dakwahpun di lakukan diantara penyebar Islam tersebut. 

Maka dimulai khitanan pertama dilakukan kepada penduduk lokal Siggang, dan penduduk lokal tersebut takut karena dipotong alat kelamin laki-laki, maka sebagian dari mereka ada yang melarikan diri ke daerah gunung hingga ke Tonte (Pantar Timur), tapi raja menitahkan kepada Ako dan Lando untuk dikhitankan sebagai bahan percobaan, dan ketika ujung alat kelamin (Kulup) mereka dipotong dan mereka tetap hidup sebagaimana biasanya, kemudian raja Siggang dan masyarakatnya percaya bahwa sunat tidak melenyapkan nyawa manusia sebagaimana diduga sebelumnya oleh mereka, dan mulai perlahan-lahan mereka memeluk Islam. 

Ada juga keterangan yang menyebutkan bahwa sebagaimana disampaikan oleh Bapak Bas Mau salah satu ketertarikan penduduk lokal Siggang kepada Islam adalah melihat tata pelaksanaan ritual (shalat) yang dilakukan oleh orang Islam dari Tarnate sangat berbeda kepercayaan lokal yang dimiliki oleh penduduk setempat yang masih percaya pada animisme dan dinamisme, sehingga ritual semacamnya ini menjadi magnet tersendiri memikat mereka untuk memeluk agama Islam, dan dari situlah kemudian raja menitah masyarakatnya untuk memeluk Islam yang dibawah dari ternate tersebut.

Disamping itu ada faktor lain yang mendorong masyarakat Siggang untuk memeluk agama Islam adalah adanya hubungan perkawinan antara pendatang dari Maluku, Seperti perkawinan perempuan dari ternate yang bernama Muri Gogoh menikah dengan putra lokal yang bernama Lou Sere yang memilki Putra yang bernama Bate Loi sebagai orang pertama yang menempati tanah Gelu Bala/Bayyang Onong bersama ibunya Murri Gogo, Namun sebelum Bate Loi lahir bapaknya meninggal terlebih dahulu, dan ia lahir seabagai anak yatim, dan semasa kecil Bate Loi tinggal di daerah Siggang, tetapi ia memiliki penyakit kulit yang sulit untuk disembuhkan, dan raja menduga bahwa penyakit kulit yang diderita oleh Bate Loi ini diakibatkan dari makanan yang ia konsumsi ini tercampur antara yang halal dan yang haram, karena penduduk Siggang belum memeluk Islam secara utuh. sehingga raja Siggang menyuruh para penggawah untuk membuat gubuk sebagai tempat tinggal sementara untuk Bate Loi bersama ibunya Muri Gogo di daerah Bayyang Onong untuk mereka tinggal secara terpisah dengan orang-orang dari kerajaan Siggang belum seutuhnya beragama islam tersebut. 

Menurut penuturan yang disampaikan oleh Bapak Bas Mau bahwa Bate Loi memilki kepiawaian yang cukup luar biasa dalam memancing ikan, sehingga ia banyak memperoleh ikan jika ia pergi memancing dalam bahasa lokal disebut dengan istilah Bahi Kawa. Sehingga dari hasil tangkapanya tersebut membuat daya pikat orang dari berbagai daerah yang berdekatan untuk datang di daerah Bayyang Onong untuk melakukan barter dengan makanan lokal penduduk setempat yang bisa dapat dikonsumsi. Sehingga Bayang Onong yang awalnya sepi berubah menjadi tempat yang ramai dan berubah layaknya seperti pasar tradisional, yang lama kelamaan orang juga ikut menempat daerah tersebut. Maka seiring berjalannya waktu daerah Bayyang Onong berubah menjadi perkampungan yang ramai. Sebelum orang-orang dari kerajaan Baranusa bermigrasi dari tanah Wai Wagang datang dan bergabung dengan mereka untuk bersama dengan pendatang lainnya yang akan menempati tanah bayang onong sebelum berubah namanya menjadi Gelu Bala sebagai kampong lama dari kerajaan Baranusa (Lawo Date), orang gunung menyebutnya dengan istilah Abbang Yasa 

Selain perkawinan antara Muri Gogo dengan Lou Sere sebagaimana tergambar di atas, Imam Muchtar Likur juga mengawini putri lokal dari suku Kawadde yang kemudian diberi nama Siti Nurfitrah Jannah, yang melahirkan keturunan yang bermarga Likur dan Yunus yang tersebar di daerah Baranusa dan Kabupaten Alor secara umum. Dan rombongan kedua utusan sultan Babullah juga nanti juga melahirkan dua suku besar Maloku yaitu Maloku Deduang dan Maloku Tosiwo yang tesebar juga di daerah Baranusa dan Kabupaten Alor bahkan diluar Alor.


(Foto/Istimewa)

2. Pendekatan Ajaran dan Pola Keberagamaan

Dalam membincangkan relasi antara ketiga kawasan Islam tersebut pendekatan kedua yang penulis gunakan adalah pendekatan pada ajaran Islam yang menjadi pegangan dalam keberagamaan masyarakat Baranusa saat ini. Pendekatan ajaran dan pola keberagaman masyarakat baranusa tidak terlepas dari pengaruh historis dari proses persebaran Islam sebagaimana yang telah digambarkan pada poin satu di atas. Disini dapat dilihat bahwa ada pengaruh dari Wali Songo terhadap perkembangan Islam di Ternate melalui muridnya Sunan Giri yaitu Datuk Maulana Husain dari Minangkabau, kemudian tersebar hingga di tanah Baranusa melalui pemuka-pemuka agama Islam yang di utus oleh Sultan Babullah Tarnate sebagaimana penulis sebutkan di atas, walaupun secara historis bahwa kelahiran empat kerajaan di tanah Maluku sendiri masih berasal dari satu keturunan yang sama yaitu dari keturunan Ja’far Shadek atau Ja’far Noh.

Ajaran keislaman yang digunakan dalam kehidupan keberagamaan masyarakat Baranusa rata-rata becorak Syafi’iyah, indikator yang dapat dilihat adalah seperti dalam pelaksanaan ibadah ritual shalat  itu diawali dari niat dengan ucapan usalli dan seterusnya sebelum melakukan takbiratul ihram, dan mengucapkan takbir dengan lafadz Allahu Akbar tidak menggunakan Allahul Adziim (lihat Fiqhul Madzhabul Arba’a), disamping itu masyarakat Baranusa juga awal mulanya melaksanakan sholat Traweh pada bulan ramadhan dengan jumlah rakaat 20 ditambah dengan shalat witir tiga rakaat menjadi 23 rakaat, selain itu masyarakat Baranusa juga melakukan ritual atau upacara-upacara keagamaan lainnya juga dinilai sangat kental dengan mazhab Safi’iyah. Dan perlu diketahui bahwa yang menjadi dasar rujukan mereka dalam masalah fikiyah adalah kitab parukunan yang apabila dinilai ini merupakan kitab pengejawantahan dari kitab Safinah An-Nazahnya karya Imam Syafi’i, ditambah dengan berbagai macam do’a seperti halnya Madzmu Syarif yang banyak digunakan oleh penganut Syafi’iyyah yang ada dibelahan bumi Nusantara.

Selain itu masyarakat Baranusa juga dalam hal upacara keagamaan, seperti Maulid Nabi Muhammad saw, memperingati Isra dan Mi’raj, memperingati malam Nujulul Qur’an atau dalam hal acara khitanan anak dan aqiqah anak-anak mereka, di lakukan secara meriah atau disambut dengan suka cita oleh masyarakat Baranusa, mereka suka membaca atau mengamalkan kitab Barjanzi karangan Syekh Al-Barjanzi, menggunakan tongkat dalam hutbah jum’at dan shalat Idul Fitri dan Iedul Adha, serta melakukan Iqamah pada dua shalat Ied sebagaiman kesepakatan empat madzhab fiqih, ditambah dengan ajaran tasawuf yang bercorak Ahlusunnah Waljama’ah, yaitu banyak juga yang kita jumpai banyak ajaran Thoriqot Qadariyah dan Naqsabandiyah yang menjalar dalam kehidupan keagamaan masyarakat Baranusa, ajaran Thoriqot inilah dalam masyarakat Barunusa mereka namai dengan istilah ilmu lappe leing (ilmu lipat kaki), karena ilmu yang diwariskan oleh guru spiritual mursyid kepada para muridnya dengan cara sang murid dan gurunya melipatkan kedua kaki mereka di atas kain kafan putih dan ilmu tersebut diwariskan atau istilah diijazahkannya ilmu tersebut kepada murid yang dipercaya oleh sang guru untuk menerima atau mewariskan ilmu tersebut dari sang guru. Disamping itu masyarakat Baranusa juga melakukan ritual do’a arwah kepada leluhur mereka, seperti juga yang dilakukan di daerah Demak dan Ternate, dalam upacara doa’a arwah biasanya disertai dengan pembakaran dupa. 

Tentang pembakaran dupa, pada tahun 2017 dalam penilitian yang penulis lakukan penulis menemukan pecahan gerabah tua terbuat dari tanah liat sebagai tempat penyimpan dupa dalam acara ritual do’a arwah dan itu mirip dengan keberagamaan Islam yang ada di Demak atau Jawa secara umum, tapi dalam ritual do’a arwah bagi masyarakat Baranusa saat ini tidak lagi menggunakan dupa yang disimpan di gerabah, tapi cukup menggunakan peralatan seadanya dalam ritual do’a arwah. Hal ini juga dikuatkan oleh Bapak shidik Likur salah satu keturunan dari imam Muchtar Likur ketika kami melakukan ziarah bersama di kampung lama Baranusa/Lawo date. Dan bisanya do’a arwah dilakukan oleh orang Baranusa setelah mereka melakukan ziarah kubur saat menjelang puasa atau menjelang lebaran, ziarah kubur oleh orang Baranusa dilakukan biasanya sekaligus membersihkan pelataran kuburan yang di kenal dengan istilah Batta Kubur. Dan ritual do’a arwah ini masih tetap dijalankan dan dipetahankan oleh masyarakat Baranusa dengan istilah Basa Do’a/Basa Fateha, termasuk menyambut keluarga yang baru lahir. 

Ajaran atau ritual keagamaan yang dipraktekan oleh masyarakat Baranusa, itu tidak terlepas dari relasi-relasi historis antara Islam Baranusa dengan Tarnate, dan Islam Demak melalui perjalanan sejarah yang agak cukup lama. Namun harus diakui bahwa ritual dan ajaran semacam itulah yang banyak dipraktekan oleh orang-orang islam yang ada di Indonesia, jadi tidak bisa dipungkiri bahwa ketiga kawasan ini memiliki ajaran dan praktek keagaman Islam yang sama antara satu dengan yang lainnya, sehingga benang kusut kesejarahan yang belum terurai ini, dapat kita uraikan menjadi sesuatu yang bermaslahat bagi generasi muslim selanjutnya.

Selain itu, pola keberagamaan yang dipraktekan juga adalah menambur bedug pada waktu sholat, sebagai medium memanggilkan jamaah untuk melaksanakan ritual sholat fardhu, disamping itu bedug juga yang digunakan sebagai simbol pertanda awal puasa dan ahir pusa ramdhan, awal puasa masyarakat baranusa menyebutnya dengan istilah “Pasa Wulang”. Pasa dalam bahasa Baranusa menunjukan pada bunyi letupan pada benda berupa senapan, namun dalam konteks ini masyarakat Baranusa menggunakan istilah pasa sebagai simbol bunyi bedug yang menujukan pada orang-orang bahwa mereka akan melaksanakan awal puasa ramdhan atau ahir ramadhan yang telah mereka jalankan ritual puasa selama satu bulan. Namun tradisi menambur bedug yang memiliki nilai historisnya telah tergerus oleh zaman, karena pengaruh praktek keberagamaan yang selalu mengedepankan aspek formalitas keagaaman dan mengikis tradisi keberagamaan yang tidak dipraktek oleh Nabi Muhammad Saw pada suatu masyarakat tertentu termasuk praktek keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat Baranusa itu sendiri. Sehingga lama kelamaan pola dan tradisi keberagamaan masyarakat akan mengalami kekaburan karena pemaksaan pola keberagamaan harus selalu bebasis pada dalil keagamaan berupa teks, baik Al-Qur’an atau Hadist, sehingga hal yang tidak ada dalil nash dianggap sebagai bid’ah, khurafat ataupun syirik.

Pola berfikir keagamaan semacam ini secara tidak langsung akan menghilangkan tradisi keberagamaan lokal dan mata rantai persebaran islam dari uraian yang telah penulis paparkan pada poin satu di atas. Penelusuran pada ajaran dan pola keberagamaan pada tiga kawasan ini tentu memilki kesamaan tradisi keberagamaan antara satu dengan yang lainnya sehingga hal ini menjadi poin penting untuk mealcak hubungan islam pada tiga kawasan ini yaitu Demak, Tarnate dan Baranusa. karena dalam hemat penulis bahwa melacak tradisi keberagamaan akan menghubungkan kita pada mata rantai persebaran islam pada tiga kawasan yang menjadi objek pembahasan dalam tulisan ini. 


3. Pendekatan Arsitektur Bagunan Peribadatan (Masjid)

Pendekatan ketiga yang digunakan untuk melihat relasi antara Islam baranusa ternate dan demak adalah pendekatan pada arsitektur bangunan peribadatan; dalam hal ini adalah masjid sebagai tempat satu-satunya tembat bagi orang untuk melakukan keagamaan kepada sang pencipta.

Bentuk ketiga jenis masjid dari ketiga kawasan itu memiliki corak yang saangat mirip antara satu dengan lainnya, secara umum dapat dilihat bahwa corak masjid antara ketiga kawasan tersebut merupakan perpaduan antara tiga kebudayaan yaitu kebudayaan Islam, Jawa dan Tionghoa. 

Relasi pertama yang dilihat adalah terdapat pada atap masjid yang tersusun seperti gunung dengan mengambil susunan ganjil dengan puncak tertinggi yang menunjukan akan kekuasaan Allah swt, Kemudian tingkatan pada susunan atap yang menunjukan angka ganjil seperti masjid Demak mengambil susun tiga, dan di baranusa juga demikian. Dan masjid di tarnate mengambil susun lima.

Selain atap masjid sebagaimana tersampaikan di atas, bentuk masjid juga memiliki empat tiang utama sebagai penyangga dan ini adalah tiang utama yang secara filosofis ini bermakna empat sahabat nabi (khulfa al-rasyidun) yang menjadi pemimpin setelah wafatnya Rasulullah Saw, sebelum beralih kekuasaan islam menjadi monarki heredetis pada masa Muawiyah ibn Sofyan. Bentuk masjid ketiga daerah tersebut  memiliki arsitektur sangat mirip, ditambah dengan hal-hal lain yang terdapat di dalam masjid yang menjadi persamaan diantara ketiga kawasan tersebut, seperti adanya tongkat, mimbar dan bedug yang dipukul sebelum azan dikomandankan, hal tersebut merupakan artefak-artefak sejarah yang harus tetap dipilihara dengan baik oleh generasi saat ini. 

Arsitek bangunan berupa masjid menjadi suatu ikon penting perjalanan sejarah islam pada setiap wilayah atau dalam studi kawasan islam, sebagaimana dijelaskan oleh penulis dibagian prolog pada tulisan ini. 

Namun khusus bagi daearah Baranusa dan Kabupaten Alor arsitektur masjid sebagaimana tersampaikan di atas sudah mengalami pergeseran yang cukup luar biasa, dan hal itu tidak dibendung, sehingga hal ini menjadi sulit bagi generasi Islam saat ini, tidak mampu untuk mengidentifikasi dan mengkaji ulang bentuk-bentuk arsitektur bangunan masjid dan peninggalan-peninggalan generasi awal penyebar islam yang sudah mulai mengalami pengaburan (rapuh), baik itu roda waktu ataupun hal lain yang tidak disadari oleh masyarakat Baranusa itu sendiri. 

Keinginan untuk membangun masjid mengikuti pola modern yang dianggap lebih maju, seperti masjid harus menggunakan Quba layaknya seperti masjid-masjid yang berada daerah diperkotaan dan atau mengiblat pada bentuk-bentuk masjid yang ada di Negara timur tengah yang menggunakan Quba, tanpa memahami latar historis penggunaan quba masjid yang merupakan arsitektur budaya Kristen Koptik (Romawi) yang diadopsi oleh islam, ketika islam mengusai daerah tersebut. Hasrat semacam dapat mengaburkan khasan arsitektur masjid lokal yang diwariskan oleh para leluhur, sebagai cagar kebudayaan masyarakat Islam Baranusa telah hilang dengan sendirinya. Hal semacam ini harus menjadi bahan refleksi umat islam Baranusa, terutama genarasi muslim Baranusa dimana saja berada.



C. Epilog

Tiga pendektan yang penulis gunakan untuk mengakaji Relasi Islam Demak, Islam Tarnate dan Islam Baranusa memiliki hubungan yang saling keterkaitan, dan perlu untuk diurai menjadi nerasi yang saling ketersambungan baik itu dari sisi historis, ajaran atau pola keberagamaan yang dijalankan hingga arsitektur bangunan masjid yang menunjukan kepada kita bahwa ketiga kawasan tersebut memiliki relasi yang saling berkitan antara satu dengan yang lainnya. 

Tulisan ini menghasilkan tiga konklusi penting berdasarkan pendekatan yang penulis gunakan, yaitu : Pertama, dari sisi sejarah ketiga wilayah tersebut memiliki mata rantai yang tidak putus dalam persebaran islam yaitu dimana Sunan Giri sebagai orang yang peranan penting dalam proses persebaran islam yang berada diwilayah Indonesia bagian timur baik itu melalui muridnya langsung atau oleh dirinya sendiri. Proses islamisasi yang dilakukan oleh Murid dari Sunan Giri sendiri yaitu Datuk Maulana Husain yang berhasil mengislamkan Marhum ayah dari Sultan Zainal Abidin, dan kemudian Sultan Zainal Abidin diutus oleh ayahnya untuk belajar islam langsung kepada Sunan Giri secara bersama dengan teman-teman sejawatnya, dari Sultan Zainal Abidin kemudian dilanjutkan oleh Sultan Khairul Jamil, dan kemudian islam lanjutkan lagi oleh anaknya Sultan Khairun Jamil yaitu Sultan Babullah, pada masa Sultan Babullah islam dibawah masuk ke daerah Baranusa Oleh Imam Muchtar Likur bersama Bilalnya Kadir Al-Jufri, dan kemudian disusul oleh generasi berikutnya oleh rumbongan Lima Gogoh yang tersebar secara umum di Kabupaten Alor, dan Jou Gogoh sendiri bersama rombongannya mereka dapat menancapkan islam di tanah Gelu Bala dan menguatkan islam yang telah dibawah masuk oleh Imam Muchtar Likur. Kedua, pada aspek ajaran dan pola keberagamaan tentu ketiga kawasan tersebut memiliki kemiripan pada pola keberagamaan berupa praktek ritual dan doa yang selalu dipanjatkan pada saat melakukan ritual keagamaan, dan corak keberagamaan dari ketiga kawasan tersebut bercorak Syafiyah dengan merujuk pada kitab parukunan yang menjadi pegangan ritual masyarakat Baranusa saat ini, maka kitab parukunan merupakan pengejawantahan dari kitab Safinatu An-Najah. Serta upacara-upacara keagaman seperti Maulid Nabi, Isra Mi’raj, memperingati nujulul Qur’an, Khitanan, Aqiqah, doa arwah, dan ziarah kubursemuanya masih tetap dipertahankan hingga saat ini. Ketiga, Arsitek bangunan masjid yang memiliki atap muncung seperti gunung, baik itu tersrusun tiga seperti Demak dan Baranusa dan bersusun lima seperti masjid Agung Tarnate, dengan empat tiang utama sebagai penyangga yang terdapat di dalam majid, kemudian terdapat mimbar dan tongkat pada saat digunakan oleh khatib dalam menyampaikan khutbah kepada jamaah dalam pelaksanan ibadah sholat jumat atupun sholat iedul fitri dan iedul adha, dan menggunakan bedug sebagai medium memanggil jamaah dalam melaksanakan ritual sholat fardu sebelum masyarakat mengenal pengeras suara seperti saat ini. 


Semoga Bermanfaat…!!

Kupang, 19 Februari 2020 

Komentar

Postingan Populer