KEARIFAN BERTANI DALAM MASYARAKAT ADAT BARANUSA KECAMATAN PANTAR BARAT (ALOR-NTT)

 

Oleh : Jakaria M. Sali

A. PROLOG

Masyarakat Baranusa sebagai masyarakat adat tentu memiliki mata pencaharian yang beragam dan khas, salah satu diantaranya adalah mata pencaharian yang dimiliki oleh masyarakat Baranusa yaitu Petani. Petani menjadi corak mata pencaharian bagi masyarakat Baranusa pada umumnya, walaupun di Baranusa terdapat ragam mata pencaharian yang lain seperti, nelayan, wira usaha dan lain-lain. Masyarakat Baranusa dengan khasan cara bertani yang dimiliki oleh mereka yaitu dengan model pertanian yang mengandalkan pola tada hujan pada musim penghujan tiba. Pola pertanian semacam ini yang kebanyakan dilakukan oleh masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) pada umumnya, sehingga hasil pertanian yang diperoleh hanya diperuntukan untuk makan selama satu tahun. 

Dan hasil pertanian yang diperoleh disimpan di tempat khusus yang disebut dengan istilah Kebang yaitu satu tempat yang dibuat khusus untuk menyimpan hasil pertanian mereka selama satu tahun. Untuk memperoleh hasil yang baik tentu mereka harus memiliki ladang yang baik atau dengan kata lain behwa apabila kita ingin memiliki hasil pertanian yang memuaskan tentu kita membutuhkan lahan yang subur yang akan kita gunakan untuk bercocok tanam. Lahan-lahan yang digunakan adalah lahan yang memiliki humus yang baik sebagai pupuk alami yang dapat menyuburkan tanah yang akan digunakan sebagai lahan pertanian, dan biasanya lahan semacam ini tidak digarap kurang lebih empat atau lima tahun sehingga kesuburan tanah itu betul-betul dapat terjamin dengan baik.

Hal yang perlu diperhatikan oleh kita dalam tulisan ini adalah pola atau sistim pertanian yang terdapat pada Baranusa, yang dalam pandangan kita memang agak cukup ruwet dengan pola kerja ektra yang membutuhkan tenaga dan kuat. Dimulai dari awal pembukaan lahan baru untuk pertanian, hingga terbentuklah menjadi sebuah kebun atau disebut dengan istilah Niha bagi masyarakat Baranusa, Niha inilah yang akan dipergunakan sebagai lahan untuk bercocok tanam bagi masyarakat Baranusa, dengan tahapan-tahapan yang membutuhkan waktu kurang lebih tiga atau empat tahun suatu lahan kosong itu diproses menjadi sebuah niha. Jika sudah terbentuk menjadi niha, maka pengelolahan menjadi tempat untuk bertani itupun mulai dilakukan tahap demi tahap untuk menghasil hasil pertanian yang baik. Dalam masyarakat baranusa kita mengenal akan mengenal ada beberapa tahapan dalam pertanian mereka; mulai dari pembukan lahan baru yang akan menjadi hak miliki pribadi (individu), hingga proses pengololaan dalam pertanian mereka, yang nantinya memperoleh hasil pertanian yang baik.  

Sebelum masyarakat baranusa bercocok tanam seperti saat ini, masyarakat baranusa memiliki cara-cara tersendiri untuk memperoleh makanan demi kelangsungan hidup mereka; mulai dari berburu, memancing, meramu makanan yang telah disediakan oleh alam, hingga pada pengelolaan pohon gewang menjadi bahan makanan pokok seperti layak pengelolaan sagu pada masyarakat Ambon dan Papua, pola-pola semacam ini pernah dialami oleh masyarakat baranusa sebelum mereka mengenal pola bercocok tanam seperti yang terjadi saat ini. Masyarakat Baranusa mulai mengenal cara bercocok tanam dimulai sejak tahaun 1950-an, jadi dapat dikatakan bahwa pola pertanian pada masyarakat Baranusa dapat dikatakan sebagai hal baru dalam kehiduapan mereka, namun harus digaris bawahi bahwa masyarakat Baranusa juga mempunyai kearifan lokal tersendiri dalam proses pertanian yang mereka jalankan selama ini.


B. KEARIFAN DALAM PEMBUKAAN LAHAN BARU

Sebagai masyarakat adat yang masih tetap menjaga nilai kearifan lokal dalam kehidupan mereka, tentu mereka memiliki cara-cara khusus dalam membuka lahan baru, yang akan digunakan sebagai tempat untuk lahan pertanian mereka. Melihat dari kondisi tanah yang terdapat di daerah Baranusa (Pulau Pantar) pada umumnya ada dua bentuk lahan yang akan dikelola atau digarap menjadi lahan pertanian, yang nantinya dikelola menjadi kebun (niha) sebelum mereka menanam tanaman untuk pertanian, yaitu : 

Pertama adalah lahan berupa padang sabana yang dalam bahasa lokal masyarakat Baranusa mereka mengistilahkan dengan Lata. Cara pengelolahan lahan berupa lata ini dilakukan dengan dua cara : (1) Cara Tradisional, yaitu dengan cara mencabut lata tersebut dengan menggunakan alat tradisional yaitu besi gali (kuang). Proses pencabutan lata yang dilakukan oleh mereka, dalam bahasa lokal Baranusa istilahkan dengan istilah dokka lata, kemudian ditanami tanaman berupa jagung, padi atau yang lainnya yang dapat dikonsumsi, tapi pada tahap awal semacam ini, disertai dengan penanaman pohon yang memiliki humus yang tinggi seperti kayu lantoro dan lain sebagainya. Namun pada fase ini, tanaman yang ditanam sebagai kebutuhan pokok ini tidak dianggap terlalu penting, yang terpenting dari tahap pertama ini adalah bagaimana pohon yang memiliki humus yang tinggi yang tumbuh pada lahan yang baru digarap tersebutlah yang menjadi hal yang diperioritaskan, sehingga pohon-pohon yang memiliki humus yang tinggi tersebut dipelihara layaknya mereka memilihara makanan yang akan menjadi kehidupan mereka, karena ia akan merubah lahan kosong yang tadinya ditumbuhi rerumputan lata tersebut menjadi kebun yang akan digarap lebih lanjut dan seterusnya. (2) Cara Modern, yaitu dengan cara melakukan penyemporotan menggunakan obat kimia dengan tujuan membunuh rerumputan yang berupa lata tersebut, dengan tujuan yang sama agar lahan tersebut bisa dapat dikelola menjadi kebun yang suatu saat akan ditanami makanan berupa padi dan jagung sebagai makanan pokok dalam kehidupan mereka. Pola pembukaan lahan baru pada daerah lata ini dilakukan secara terus menerus oleh masyarakat Baranusa hingga saat, sehingga pemerintah setempatpun ikut andil dalam pembagian lahan kosong berupa lata tersebut kepada masyarakat melalui kebijakan pemerintah (desa) setempat, agar lahan kosong tersebut memiliki nilai guna usaha untuk keberlanjutan hidup masyarakat Baranusa.

Kedua, pembukaan lahan pada hutan (La’al). La’al adalah hutan yang ditumbuhi pepohonan besar yang memiliki umur ratusan bahkan ribuan tahun yang terdapat pada daerah Baranusa (Pulau Pantar), cara pembukan lahan pada La’al ini dikelola dengan cara menebang hutan tersebut, kemudian ditanami makanan yang sama seperti pada lahan berupa lata di atas, yang disertai pula dengan penanaman pepohonan yang dinilai memili humus yang tinggi sebagai pupuk alami bagi kesuburan tanah kelak, maka tahapan pertama dalam pembukaan lahan bagi masyarakat Baranusa makanan yang mereka tanam itu tidak mendapat perioritas utama, yang terpenting bagi mereka adalah pepohonan yang memiliki humus yang tinggi tersebut itulah yang menjadi hal yang diperioritaskan. Karena pepohonan tersebutlah yang akan merubah hutan tersebut menjadi kebun sepertia halnya lahan lata sebagaimana disampaikan di atas. 

Berdasarkan tradisi yang terdapat pada masyarakat Baranusa, apabila suatu lahan sudah berubah bentuk menjadi kebun (niha), maka lahan tersebut dimiliki oleh seseorang, dalam artian bahwa lahan tersebut memiliki hak kepemilikan yang sah atas tanah tersebut. Dan apabila lahan tersebut memiliki tumbuhan seperti kayu lantoro atau kayu yang memiliki nilai ekonomis seperti kayu jati dan lainnya, secara tradisional (de facto) bahwa tanah tersebut mempunyai kepemilikan berdasarkan tradisi yang berkembang di daerah Baranusa, walaupun secara hukum (de jure) tanah tersebut belum diakui berdasarkan hukum berupa sertifikat yang sah berdasarkan aturan negara.

Proses pembukaan lahan semacam ini, kemudian ditanami pepohonan yang berhumus tinggi seperti kayu lantoro, taluma dan pepohonan-pepohonan lain, kemudian lahan tersebut dirawat selama tiga atau empat bahkan ada hingga lima tahun, kemudian lahan tersebut digarap ulang untuk ditanami tanaman yang menjadi kebutuhan pokok yang akan mereka konsumsi selama satu tahun kedepan sambil menunggu musim penghujan tiba. Berikut ini beberapa tahapan dalam proses pertanian dalam masyarakat adat Baranusa Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang akan penulis paparkan dibawah ini.

     

C. KEARIFAN BERTANI DALAM MASYARAKAT ADAT BARANUSA

Sebagai masyarakat adat dengan segala kearifan yang dimilikinya, tentu hal tersebut sebagai gambaran kepada kita bahwa mereka memiliki kearifan local tersendiri dalam mengelolah alam yang ada disekitar mereka, dimana alam menjadi bagian penting dan menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat Baranusa secara keseluruhan.

Masyarakat Baranusa memiliki ciri khas tersendiri dalam mengelola pertanian setelah tahapan pembukaan lahan telah selesai dilakukan, dan lahan yang mereka buka tersebut berubah wujud menjadi lahan yang cocok untuk berkebun (niha) sebagaimana telah dijelaskan di atas. Niha atau kebun inilah yang akan digarap kembali dan ditanami bahan-bahan kebutuhan pokok yang dapat dikonsumsi seperti jagung, padi, ubi kayu dan kacang-kacangan yang bisa dapat dikonsumsi demi kelnsungan hidup mereka sehari-hari. Dan sisitim pertanian dalam masyarakat adat baranusa dilakukan berdasarkan pergantian musim, dengan memanfaatkan dua musim yang ada yaitu musim kemarau dan musim penghujan, jika musim panas tiba, mereka mengunakan untuk menggarap kebun  mereka, dan jika datang musim penghujan, maka mereka gunakan untuk bercocok tanam. 

Berikut ini adalah tahapan-tahapan bertani dalam adat masyarakat Baranusa yang disebut dengan istilah Tina Niha atau Tina Ekang, tahapannya adalah sebagai berikut :

1. Tahapan Tarri Kajo (Tinna Kajo)

Dalam sistim pertanian masyarakat adat Baranusa, tahapan pertama yang dilakukan pada lahan yang sudah berbentuk kebun sebagaimana yang di gambarkan oleh penulis di atas ialah Tarri Kajo. Tarri Kajo (Tinna Kajo) secara bahasa diambil dari dua suku kata yaitu Tarri  dan kata Kajo, kata Tarri berarti menebang dan kata Kajo berati Kayu yang menunjukan pada pepohonan yang tumbuh pada kebun yang menjadi objek sasaran, sedangkan kata tina menunjukan pada suatu aktifitas pebersihan lahan agar lahan tersebut benar-benar menjadi bersih yang nantinya akan ditanami bahan kebutuhan pokok.

Pada tahapan pertama ini masyarakat melakukan upaya penebangan pohon yang sudah ditanami selama tiga atau empat tahun yang lalu pada suatu lahan yang akan digunakan sebagai lahan pertanian. Upaya penebangan pohon sebagai tahap awal dalam sistim pertanian masyarakat Baranusa ini dilakukan dengan memperhatikan iklim sedang terjadi. Tahapan pertama ini dilakukan pada musim musim panas atau disebut dengan istilah musing larra matang. 

Pada musim panas ini, masyarakat Baranusa berbondong-bondong untuk menebang pohon yang akan dijadikan lahan pertanian mereka, karena pada musim ini sebagai musim yang tepat untuk menebang pohon, karena pohon atau kayu yang ditebang tersebut akan dibiarkan kering dalam beberapa waktu, kira-kira  dua hingga tiga bulan kemudian kayu tersebut dijemur atau dibiarkan agar kering, yang kemudian akan dilakukan pembakaran pada tahap berikutnya.

Kegiatan penebangan pohon pada lahan pertanian (tarri kajo) ini dilakukan pada bulan juli atau agustus, karena musim tersebut dinilai sebagai musim yang tepat agar kayu-kayu yang ditebang tersebut menjdi kering yang nantinya akan dibakar. Proses penebangan pohon pada lahan tersebut dapat dilakukan dengan beberapa cara ; yaitu bisa dilakukan secara individu oleh pemilik kebun itu sendiri, bisa dilakukan secara berkelompok dengan cara gotong royong (sambo limang), atau bisa dengan cara menyewa dengan cara mebayar jasa pekerja dengan upa yang ditetapkan berdasarkan kebiasaan masayarakat setempat. Apabila lahan tersebut sudah ditebang hingga selesai, maka kayu tersebut dibiarkan mongering hingga dua atau tiga bulan kemudian lalu nantinya akan dibakar.    

2. Tahapan Paeng Kajo

Tahapan kedua dalam sistim pertanian pada masyarakat adat Baranusa adalah tahapan paeng Kajo. Paeng Kajo adalah tahapan pengeringan pada kayu yang telah ditebang di suatu kebun tertentu yang akan digunakan dalam bercocok tanam. tahapan ini dilakukan setelah tahap pertama (tarri kajo) selesai dilakukan dengan baik dan teratur. 

Paeng dalam bahasa Baranusa berarti jemur, yaitu suatu cara pengeringan pada suatu benda tertentu yang dilakukan dengan cara dijemur diterik matahari hingga benda tersebut benar-benar kering. Hal serupa dilakukan dalam pada kayu yang ditebang pada kebun yang akan digunakan sebagai lahan pertanian. Pada tahapan kedua ini apabila selesai dilakukan, maka akan masuk pada tahap selanjutnya yaitu tahap pembakaran lahan (sarru niha).  

3. Tahapan Sarru Niha

Tahapan ketiga yaitu tahap pembakaran lahan atau disebut juga dengan istilah sarru niha yang akan digunakan untuk bercocok tanam. Tahapan ini biasanya dilakukan oleh pemilik kebun sendiri setelah kayu yang ditebang benar-benar telah mengering. Sebelum pembakaran lahan dilakukan, pemilik kebun juga melukan pembersihan pada batas kebun berdasar juru mata angin yang ada, pembersiha batas kebun berdasarkan juru mata angin ini disebut dengan istilahkan dengan istilah gara kalang yaitu membersihkan area batas kebun secara total. 

Gara kalang ini bertujuan agar pebakaran kebun tersebut api tidak dapat menyambar ke kebun orang lain yang ada disekitar lahan kebun yang dibakar, yang akan menyebabkan lahan (kebun) orang lain menjadi tidak subur, karena humus dari dedaunan yang jatuh itu telah terbakar sebelum waktu penggarapan dilakukan, yang menyebab keseburan pada lahan tersebut mengalami penurunan, atau yang disebut dengan istilah niha date. Setelah tahapan sarru niha ini selesai maka tahap berikut adalah melakukan pemberisihan secara menyeluruh (pasla’i) yang akan dibahas pada tahap berikut di bawah ini.

4. Tahapan Pasla’i Niha

Pasla’i Niha adalah salah satu tahapan dalam penggarapan lahan perkebunan, agar lahan tersebut benar-benar bersih secara menyeluruh, sehingga hal ini mempermudah pemilik kebun dengan lancar dalam proses penanaman bibit tanaman yang akan di tanam. Pasla’i ini dilakukan dengan cara  mengumpulkan puntungan-puntungan kayu sisa pembakaran dalam tahap pembakaran kebun (sarru niha) tadi, dalam bentuk tumpukan-tunmpukan kecil, lalu kemudian di bakar ulang, agar lahan tersebut benar-benar terlihat besih. Pasla’i ini bisa dilakukan secara individu oleh pemilik kebun, menyewa ataupun gotong royong (sambo limang). Apabila lahan tersebut sudah bersih sebagimana yang diharapkan, maka tahapan berikutnya yang akan dilakukan adalah peroses penanaman kebun atau disebut dengan istilah mulla niha yang akan dibahas pada poin berikut di bawah ini. 

5. Tahap Mulla Niha

Mulla dalam bahasa Baranusa artinya tanam atau menanam, yaitu suatu kegiatan penanaman kebun yang dilakukan secara gotong royong secara bersama-sama. Proses penanaman kebun dalam tradisi masyarakat Baranusa membutuhkan anggaran tambahan untuk pembelian kopi, gula. rokok dan kue serta butuh anggaran makan siang. 

Proses penanaman dilakukan dengan beberapa tahapan, yaitu : (1) Pemilik kebun menaruhkan bibit padi dalam wadah (barang) dipusat kebun, (2) Tahapan penyuguhan kopi dan teh yang disertai dengan memakan snack atau kue yang telah disediakan oleh pemilik kebun atau disebut dengan istilah renung wai, (3) Dilakukan pelubangan pada tanah yang oleh orang tertentu, proses pelubangan pada tanah yang akan ditanami padi atau jagung ini disebut dengan istilah dokka si. Setelah tanah dilubangin maka akan dikukan penanaman benih padi dengan wadah kecil seperti tempurung kelapa atau piring plastic yang digunakan untuk mengisih benih padi atau jagung yang hendak ditanam, dan ini dilakukan secara bersama-sama. (4) Apabila penanaman kebun telah selesai dilakukan, maka mereka akan makan siang secara bersama-sama yang disebut dengan istilah asang waking dan setelah asang waking selesai, maka mereka akan kembali ketempat mereka masing-masing

6. Tahap Bakku Laddung 

Dalam bahasa Baranusa bakku artinya cabut atau mencabut, sedangkan kata laddung berarti rumput. Jadi yang dimaksud dengan bakku laddung adalah kegiatan pencabutan rumput pada kebun yang ditanami padi atau jagung sebagaimana yang dijelaskan di atas. 

Kegiatan pencabutan rumput yang tumbuh area pertanian yang ditanami padi dan jagung dilakukan dalam dua tahapan, yaitu : (1) Bakku Laddung Manurreng, yaitu pencabutan rumput tahap pertama yang tumbuh bersamaan dengan tanaman yang ditanami pada area pertanian, kata manurreng menunjukan pada rumput  yang baru tumbuh pada lahan yang ditanami padi dan jagung tadi. Tujuan dari bakku laddung manurreng adalah agar tanaman berupa padi dan jagung itu dapat tumbuh dengan baik sebagaimana  yang diharapkan oleh pemilik lahan; (2) Bakku Laddumg Manemul, yaitu tahapan pencabutan rumput yang kedua, agar tanamana yang tumbuh tersebut dapat berbuah dengan baik sebagaimana yang diharapkan. Istilah manemul dalam bahasa Baranusa yaitu menunjukan pada rumput yang tumbuh setelah tahap pertama pembersihan telah dilakukan yaitu bakku laddung manurreng tadi.

Tahapan bakku ladung dalam sistim pertanian yang terdapat dalam masyarakat Baranusa, tetap dilakukan dengan tiga cara, sebagaimana seperti tahap tarri kajo, yaitu dilakukan oleh pemilik kebun sendiri, disewa dan dilakukan secara gotong royong. Dan alat-alat yang digunakan dalam kegitan mencabut rumput yaitu berupa Eku, kuang ola, sabit dan lain sebagainya, dan proses pencabutan rumput pada area pertanian telah selesai dilakukan, maka sang pemilik kebun hanya menungguh kapan padi dan jagung tersebut tumbuh hingga sampai pada waktu yang tepat untuk dilakukan panen (bolla nihha), dan ini merupakan tahapan ahir dari hasil kerja keras yang selalu di tungguh oleh pemilik kebun.

7. Tahap Bolla Pille

Tahap ahir dari proses pertanian yang dilakukan oleh masyarakat adat baranusa ialah tahap panen, dimana sang pemilik kebun akan memetik hasil pertanian dari kerja keras yang selama ini mereka lakukan sejak awal hingga ahir. Tahapan bolla Nihha ini juga dilakukan secara gotong royong secara bersama, yang disertai juga dengan berbagai macam penyuguhan layaknya pada tahap penenanaman kebun (mulla nihha). Cuman dalam tahap bolla nihha ini dilakukan sejak pagi hinnga sore hari sedang taham tahap penanaman hanya membutuhkan waktu secukupnya berdasarkan ukuran kebun yang tanam. Dalam adat masyarakat baranusa, biasanya yang dipanen terlebih dahulu adalah padi, dan setelah itu kemudian jagung. Dalam proses panen padi masyarakat baranusa menggunakan istilah gatto apa atau pungut padi, dimana yang diambil adalah bagian ujung yang terdapat butiran padinya, apabilah padinya panjang disebut dengan istilah begul sedangkan padi yang betuiran sedidkit disebut dengan istilah kanelik. Setelah panen padi selesai dilakukan maka taha berikut adalah tahap panen jagung yang disebut dengan istillah bolla/hoddang wata atau pungut jagung, tapi dalam tahan pemungutan jagung ini dbiasnya dilakukan oleh pemilik kebud dan sanak familinya saja, dan tidak melibatkan banyak orang, sebagaimana yang dikaukan oleh tahan bolla apa (pungut padi) tadi.

8. Tahap Nappe Apirre Niha Onong

Tahap ini merupakan tahap ahir dari segala dalam proses pertanian dalam adat masyarakat Baranusa, dimana hasil panen berupa jagung dan padi tersebut disimpan dalam tempat yang dibuat khusus untuk menyimpan hasil pertanian mereka, yaitu kebang, sejenis rumah panngung dengan ukuran kecil berbentuk persegi empat dan beratapkan alang-alang atau daun kelapa, sebagai bahan penyimpan makan pokok berupa jagung dan padi tadi dan kemudian nantinya akan di konsumsi seacar tahap demi tahap berdasarkan kebutuhan mereka selama satu tahu kedepan, sambil menggu pergantian musim pada tahun berikutnya.


D. SIMPULAN

Dari uraian di atas tentang Kearifan Bertani dalam Masyarakat Adat Baranusa Kecamatan Pantar barat Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur, dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu : 1) Masyarakat Baranusa merupakan masyarakat adat dengan segala khasan yang dimilkinya dengan pola kehidupan yang tidak terlepas pada alam yang ada disekitar mereka,  sehingga alam menjadi tempat dimana mereka menggantungkan kehidupan dengan cara mereka bertani demi kelangsungan hidup mereka. 2) Masyarakat adat Baranusa memiliki khasan dalam proses pembukaan lahan baru untuk pertanian mereka, baik itu pada daerah yang rerumputan sabana (lata) maupun pada hutan (la’al) sebagai objek yang akan dijadikan ladang pertanian mereka; (3) Masyarakat adat Baranusa memiliki istilah tersendiri dalam proses pertanian yang dimulai dari, walaupun hal ini sangat mirip dengan masyarakat Nusa tenggar Timur pada umumnya, namun dalam adat masyarakat Baranusa, mereka memiliki istilah tersendiri mengenai tahapan-tahapan dalam pertanian, yaitu : tarri kajo, sarru niha, pasla’i niha, mulla niha, bakku laddung, bolla pille, hingga nappe niha onong yang menjadi kearifan dalam petanian yang terdapat pada masyarakat Baranusa yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya secara turun temurun hingga saat ini.


Kupang, 27 Februari 2021


Selamat Membaca !!

Semoga Bermanfaat…..


Komentar

  1. Terimakasih bang jek . Karena tulisan ini sangat bermanfaat bagi kita khusunya masyarakat baranusa yang tetap menjaga dan mempelajari kearifan lokal yang kita miliki

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer