"May Day; Buruh Bukan Untuk Dirayakan"


OLEH: AKBAR SARAH, SH.

“Berikan-lah kepada buruh/pekerja upahnya sebelum keringatnya kering” (HR. Ibnu Majah, shahih).


May Day.. 
May Day.. 
May Day..

Se ala
kadarnya Slogan yang  selalu terdengar dan mengiringi pergantian bulan Mei dari tahun ke tahun. Seolah rutinitas atau semacam tradisi turun temurun bahkan kian mendekati mitos  yang mesti digelorakan oleh mereka yang dikategorikan sebagai kelas pekerja di belahan dunia. Ya, lazimnya disebut Buruh atau pekerja, worker, laborer, tenaga kerja atau karyawan pada dasarnya adalah manusia yang menggunakan tenaga dan kemampuannya untuk mendapatkan balasan berupa pendapatan baik berupa uang maupun bentuk lainya kepada Pemberi Kerja atau pengusaha atau majikan.
Pada dasarnya, buruh, Pekerja, Tenaga Kerja maupun karyawan adalah sama. namun dalam kultur Indonesia, "Buruh" berkonotasi sebagai pekerja rendahan, hina, kasaran dan sebagainya. sedangkan pekerja, Tenaga kerja dan Karyawan adalah sebutan untuk buruh yang lebih tinggi, dan diberikan cenderung kepada buruh yang tidak memakai otot tetapi otak dalam melakukan kerja. Akan tetapi pada intinya sebenarnya keempat kata ini sama mempunyai arti satu yaitu Pekerja. Hal ini terutama merujuk pada Undang-undang Ketenagakerjaan, yang berlaku umum untuk seluruh pekerja maupun pengusaha di Indonesia.
May Day yang di Indonesia dikenal sebagai Hari Buruh adalah sebuah hari libur tahunan yang pada umumnya dirayakan pada tanggal 1 Mei yang berawal dari usaha gerakan serikat buruh untuk merayakan keberhasilan ekonomi dan sosial para buruh.
Dalam Sejarah Hari Buruh lahir dari berbagai rentetan perjuangan kelas pekerja untuk meraih kendali ekonomi-politis hak-hak industrial yang dalam praktiknya cenderung meng-hegemoni.
Di awal Perkembangan kapitalisme industri, abad 19 menandakan perubahan drastis ekonomi-politik, terutama di negara-negara kapitalis di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Pengetatan disiplin dan pengintensifan jam kerja, minimnya upah, dan buruknya kondisi kerja di tingkatan pabrik, melahirkan perlawanan dari kalangan kelas pekerja.
Pemogokan pertama kelas pekerja Amerika Serikat terjadi pada tahun 1806 oleh pekerja Cordwainers. Pemogokan ini membawa para pengorganisirnya ke meja pengadilan dan juga mengangkat fakta bahwa kelas pekerja di era tersebut bekerja dari 19 sampai 20 jam seharinya. Sejak saat itu, perjuangan untuk menuntut direduksinya jam kerja menjadi agenda bersama kelas pekerja di Amerika Serikat.
Ada dua orang yang dianggap telah menyumbangkan gagasan untuk menghormati para pekerja, Peter McGuire dan Matthew Maguire, seorang pekerja mesin dari Paterson, New Jersey. Pada tahun 1872, McGuire dan 100.000 pekerja melakukan aksi mogok untuk menuntut mengurangan jam kerja. McGuire lalu melanjutkan dengan berbicara dengan para pekerja dan para pengangguran, melobi pemerintah kota untuk menyediakan pekerjaan dan uang lembur. McGuire menjadi terkenal dengan sebutan "pengganggu ketenangan masyarakat".
Pada tahun 1881, McGuire pindah ke St. Louis, Missouri dan memulai untuk mengorganisasi para tukang kayu. Akhirnya didirikanlah sebuah persatuan yang terdiri atas tukang kayu di Chicago, dengan McGuire sebagai Sekretaris Umum dari "United Brotherhood of Carpenters and Joiners of America". Ide untuk mengorganisasikan pekerja menurut bidang keahlian mereka kemudian merebak ke seluruh negara. McGuire dan para pekerja di kota-kota lain merencanakan hari libur untuk Para pekerja di setiap Senin Pertama Bulan September di antara Hari Kemerdekaan dan hari Pengucapan Syukur.
Kemudian, Pada tanggal 5 September 1882, parade Hari Buruh pertama diadakan di kota New York dengan peserta 20.000 orang yang membawa spanduk bertulisan 8 jam kerja, 8 jam istirahat, 8 jam rekreasi. Maguire dan McGuire memainkan peran penting dalam menyelenggarakan parade ini. Dalam tahun-tahun berikutnya, gagasan ini menyebar dan semua negara bagian merayakannya.
Pada 1887, Oregon menjadi negara bagian pertama yang menjadikannya hari libur umum. Pada 1894. Presider Grover Cleveland menandatangani sebuah undang-undang yang menjadikan minggu pertama bulan September hari libur umum resmi nasional.
Selanjutnya, Kongres Internasional Pertama diselenggarakan pada September 1866 di Jenewa, Swiss, dihadiri berbagai elemen organisasi pekerja belahan dunia. Kongres ini menetapkan sebuah tuntutan mereduksi jam kerja menjadi delapan jam sehari, yang sebelumnya (masih pada tahun sama) telah dilakukan National Labour Union di AS: Sebagaimana batasan-batasan ini mewakili tuntutan umum kelas pekerja Amerika Serikat, maka kongres mengubah tuntutan ini menjadi landasan umum kelas pekerja seluruh dunia.
Satu Mei ditetapkan sebagai hari perjuangan kelas pekerja dunia pada Kongres 1886 oleh Federation of Organized Trades and Labor Unions untuk, selain memberikan momen tuntutan delapan jam sehari, memberikan semangat baru perjuangan kelas pekerja yang mencapai titik masif di era tersebut. Tanggal 1 Mei dipilih karena pada 1884 Federation of Organized Trades and Labor Unions, yang terinspirasi oleh kesuksesan aksi buruh di Kanada 1872, menuntut delapan jam kerja di Amerika Serikat dan diberlakukan mulai 1 Mei 1886
Kongres Sosialis Dunia Pada bulan Juli 1889, Kongres Sosialis Dunia yang diselenggarakan di Paris menetapkan peristiwa di AS tanggal 1 Mei itu sebagai hari buruh sedunia dan mengeluarkan resolusi berisi:
Sebuah aksi internasional besar harus diorganisir pada satu hari tertentu dimana semua negara dan kota-kota pada waktu yang bersamaan, pada satu hari yang disepakati bersama, semua buruh menuntut agar pemerintah secara legal mengurangi jam kerja menjadi 8 jam per hari, dan melaksanakan semua hasil Kongres Buruh Internasional Prancis.
Resolusi ini mendapat sambutan yang hangat dari berbagai negara dan sejak tahun 1890, tanggal 1 Mei, yang diistilahkan dengan May Day, diperingati oleh kaum buruh di berbagai negara, meskipun mendapat tekanan keras dari pemerintah mereka.
Sedangkan di Indonesia sendiri Hari buruh jatuh pada tahun 1920 juga mulai memperingati hari Buruh tanggal 1 Mei ini. Adalah Ibarruri Aidit (putri sulung D.N. Aidit) sewaktu kecil bersama ibunya pernah menghadiri peringatan Hari Buruh Internasional di Uni Soviet, sesudah dewasa menghadiri pula peringatan Hari Buruh Internasional 1 Mei 1970 di Lapangan Tian An Men RRC pada peringatan tersebut menurut dia hadir juga Mao Zedong, Pangeran Sihanouk dengan istrinya Ratu Monique, Perdana Menteri Kamboja Pennut, Lin Biao (orang kedua Partai Komunis Tiongkok) dan pemimpin Partai Komunis Birma Thaksin B Tan Tein. Tapi sejak masa pemerintahan Orde Baru hari Buruh tidak lagi diperingati di Indonesia, dan sejak itu, 1 Mei bukan lagi merupakan hari libur untuk memperingati peranan buruh dalam masyarakat dan ekonomi. Ini disebabkan karena gerakan buruh dihubungkan dengan gerakan dan paham komunis yang sejak kejadian G30S pada 1965 ditabukan di Indonesia. Semasa Soeharto berkuasa, aksi untuk peringatan May Day masuk kategori aktivitas subversif, karena May Day selalu dikonotasikan dengan ideologi komunis. Konotasi ini jelas tidak pas, karena mayoritas negara-negara di dunia ini (yang sebagian besar menganut ideologi non komunis, bahkan juga yang menganut prinsip anti komunis), menetapkan tanggal 1 Mei sebagai Libur Day dan menjadikannya sebagai hari libur nasional. Setelah era Orde Baru berakhir, walaupun bukan hari libur, setiap tanggal 1 Mei kembali marak dirayakan oleh buruh di Indonesia dengan demonstrasi di berbagai kota. Kekhawatiran bahwa gerakan massa buruh yang dimobilisasi setiap tanggal 1 Mei membuahkan kerusuhan, ternyata tidak pernah terbukti. Sejak peringatan May Day tahun 1999 hingga 2006 tidak pernah ada tindakan destruktif yang dilakukan oleh gerakan massa buruh yang masuk kategori "membahayakan ketertiban umum". Yang terjadi malahan tindakan represif aparat keamanan terhadap kaum buruh, karena mereka masih berpedoman pada paradigma lama yang menganggap peringatan May Day adalah subversif dan didalangi gerakan komunis. Aksi May Day 2006 terjadi di berbagai kota di Indonesia, seperti di Jakarta, Lampung, Makassar, Malang, Surabaya, Medan, Denpasar, Bandung, Semarang, Samarinda, Manado, dan Batam. Hal ini menandai dibuka kembali kebebasan kaum buruh menyuarakan hak-haknya.
Pemerintah akan menjadikan Hari Buruh Internasional yang diperingati setiap 1 Mei sebagai hari libur nasional. Menurut rencana, hal itu akan dimulai pada 2014.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah dengan ditetapkan hari buruh sebagai hari libur nasional, tuntutan-tuntutan buruh akan dengan mudah ditindak lanjuti ?. Ataukah hanya sebatas perayaan serimonial semata ? Hal ini yang kemudian melatarbelakangi saya untuk segara mengangkat tulisan ini.
Dari sekian tuntutan dan harapan besar dari buruh pada umumnya sejauh ini belum dirasakan manfaat serta keseriusan pemerintah dalam merencanakan kebijakan-kebijakan yang mampu memenuhi hajat hidup buruh. Sebut saja; pertama, Upah Tidak Sesuai UMP, Pemerintah menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP), yakni standar upah sesuai dengan ketentuan daerah masing-masing. Masalah timbul saat pengusaha memberikan upah di bawah standar kelayakan yang sudah ditetapkan. Di sisi lain, mekanisme pengawasan dan penegakan hukum belum efektif. Pemerintah belum tegas dalam memberikan sanksi dan membela kepentingan pekerja. Kedua, Sistem Outsourcing yang Tidak Adil dan Tidak Transparan Praktik outsourcing umum terjadi dalam realitas bisnis di Indonesia. Bagi pihak pemberi kerja atau perusahaan, sistem kerja outsourcing dapat mengurangi cost, sehingga harga produk dan layanan yang ditawarkan bisa menjadi lebih murah. Namun, yang perlu dikedepankan dari sistem ini sebenarnya adalah keadilan dan transparansi. Selama upah yang diberikan adil (sesuai UMP) dan sesuai dengan kesepakatan di awal, juga disertai dengan informasi mengenai pemberlakukan sistem kerja outsourcing pada posisi yang dilamar kepada para calon pekerja, maka harusnya tidak ada pihak yang dirugikan. Keriga, Perlindungan Sosial Pekerja Belum Maksimal. Jaminan kerja, kesehatan, keselamatan, kecelakaan, hari tua, dan lain-lain belum terpenuhi secara maksimal. Sosialisasi mengenai hak-hak pekerja belum maksimal dilakukan di Indonesia sehingga masih banyak pekerja yang belum tahu. Pemberi kerja harus memenuhi kewajibannya. Pemerintah juga harus melakukan pengawasan dan menjamin penegakan hukum bagi pemberi kerja atau perusahaan yang belum mendaftarkan para pegawainya ke dalam BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Kedua skema perlindungan ini adalah kebutuhan dasar para pekerja. Sistem pendaftarannya pun sudah dibuat sederhana dengan skema pembayaran yang murah. Harusnya dengan adanya BPJS, para pengusaha tidak ada yang mangkir dalam memberikan perlindungan untuk para pegawainya. Keempat, Persebaran Pekerja Tidak Merata. Permasalahan lainnya adalah persebaran pekerja di Indonesia yang tidak merata. Saat ini tenaga kerja di Indonesia sangat terkonsentrasi di Pulau Jawa. Sedangkan daerah lain di luar Pulau Jawa banyak kekurangan pekerja. Dengan minimnya jumlah pekerja, maka pembangunan di daerah pun jadi terhambat. Hal ini juga akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut. Pemerintah lebih fokus dalam pengembangan industri atau sektor unggulan daerah yang dapat menciptakan lapangan pekerjaan bagi pekerja lokal. Kelima, Lemahnya Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Migran. Perlindungan hukum bagi para pekerja migran oleh pemerintah juga masih terus dipertanyakan karena belum maksimal. Banyak sekali pekerja migran Indonesia yang tersandung kasus hukum namun belum mendapatkan bantuan dan perlindungan hukum dari pemerintah Indonesia karena masalah birokrasi dan diplomasi antarnegara.
Persoalan-persoalan seperti yang disebutkan diatas seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah dan juga semua elemen-elemen negara dalam menyuarakan May Day, bukan malah dijadikan agenda politik oleh beberapa pihak semata yang tentunya memiliki kepentingan.
Selanjutnya, "kesadaran kolektif, Keseriusan dan kejelasan sikap sekaligus keberpihakan pemerintah menjadi kunci untuk mewujudkan visi bangsa yakni: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia nyata dirasakan manusia bumi pertiwi". Sebab jika tidak demikian maka permasalahan-permasalahan lainnya mungkin memiliki nasib yang sama. Katakanlah, ketidakjelasan UU Omnibus Law, Demi Investasi, Hak Buruh Jadi Nomor Dua, Persoalan Ketenagakerjaan di Indonesia yang kudukan hukumnya masih rabun, keseriusan menengani naik turunnya iuran BPJS dan persoalan-persoalan lainnya yang masih dalam tanda tanya.


Sukabumi, 2 Mei 2020

Komentar

  1. Pada dasarnya UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan kiranya sudah mampu menjadi jawaban, bahwa perjanjian kerja yang dilakukan harus menunjukkan adanya kejelasan atas pekerjaan antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam perjanjian yang telah disepakati dan ketentuan yang tercantum dalam UU No.13 Tahun 2003 maka terdapat unsur dari hubungan kerja yaitu :

    1. Adanya unsur service (pelayanan)

    2. Adanya unsur time (waktu)

    3. Adanya unsur pay (upah)

    Masyarakat pada umumnya tahu bahwa tidak boleh adanya pemberlakuan tidak adil (diskriminasi) antara sesama pekerja atau antara pekerja dengan pengusaha. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu “Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.” dan Pasal 6 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.”
    Kurangnya transparansi dari pihak-pihak yang bersangkutan sehingga menimbulkan kesenjangan pemahaman baik dari kalangan pekerja, perusahaan maupun pemerintahan sebagai orang yang bertanggung jawab atas ketetapan tersebut🙏🙏

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kedudukan hukumnya memang sangat jelas namun upaya pengawalan dan pelaksanaan sampai dirasakan di lapisan bawah, katakan disini buruh sangat tidak sesuai dgn amanat uu yg dmaksud. Proses memberikan pengajaran, pembelajaran dan pengawalan musti dan senantiasa kita gelorakan hingga betul2 dirasakan. Soal plaksaannya yg tidk sejalan memang sudah menjadi rahasia umum di negri kita ..

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer