KESENIAN GALA SORO DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

Tarian Penyambutan dalam Adat Masyarakat Baranusa
Kecamatan Pantar Barat Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur
Oleh : Jakaria M. Sali

A. PROLOG
Gala Soro merupakan salah satu kesenian yang dimiiliki oleh masyarakat Baranusa, kesenian ini berupa tarian yang khas dan memiliki pesan historis bagi orang baranusa dan masyarakat secara umum. Tarian Gala Soro merupakan satu konsensus kebudayaan masyarakat Baranusa yang diciptakan oleh Raja Boli Tonda Baso di tanah Gelu Bala (Bayyang Onong) bersama dengan keterwakilan dari empat suku yang berada di bawah kepemimpinan Raja Boli Tonda kala itu, yaitu suku Uma Kakang, Suku Hale-Weka, Suku Sandiata, dan Suku Maloku.
Kesenian tarian Gala Soro merupakan tarian penyambutan yang dimiliki oleh rumpun adat masyarakat Baranusa sebagai manifesto dari kearifan lokal dalam adat masyarakat Barananusa itu sendiri, tarian ini dilakukan menjelang datangnya tamu-tamu penting, atau tamu pemerintahan yang hendak datang di daerah Baranusa, dan yang unik dari tarian Gala Soro adalah tarian ini dilakukan di atas permukaan laut dengan menggunakan perahu motor dengan laju kecepatan tinggi.

B. PRAKTEK TARIAN GALA SORO
Tarian Gala Soro ini dilakukan oleh beberapa personil diantaranya adalah : 1) Penari yang bertugas menari layaknya ia sedang menghadapi musuh dengan menggunakan pedang khas Baranusa yaitu Peda Butu yaitu pedang yang berbentuk persis seperti pedangnya Patimura dari Maluku sebagai warisan kebudayaang orang-orang Button atau dalam penyebutan lokal disebut dengan istilah Butu, 2) Bagian pemukul Tambur (Bawa), 3) Bagian Pemukul Gong, dan 4) Bagian penyannyi syair-syair yang berkaitan dengan tarian Gala Soro dan pesan-pesan historis yang termaktub dalam setiap bait lagu tersebut.
Untuk personil Gala Soro mereka menggenakan kostum khas Baranusa yaitu baju kameja putih lengan panjang, celana itam, kain sarung tenun (kawate) yang diikat dibagian pinggul, tapi cuman setengah atau tidak menutup kaki secara keseluruhan, dan dibagian kepala mereka menggenakan daun lontar berwarna putih yang dianyam layaknya mahkota (Wuto Ki). Personil Gala Soro ini berjumlah sedikit orang, kurang lebih 7 atau 8 orang saja. Tapi dalam pelaksanaan tariannya bisa diringi oleh banyak orang layaknya sebuah rombongan mengenakan perahu motor dengan kecapatan tinggi sebagaimana tersebut di atas.
Perahu Motor yang berkecapatan tinggi yang digunakan oleh penari Gala Soro tersebut bertujuan untuk, kala mereka menyambut tamu penting yang hendak datang ke daerah Baranusa, maka mereka harus lari berkeliling mutar beberapakali perahu yang dtumpangi oleh tamu yang akan tiba di Baranusa tersebut. Maka perahu motor yang berkecepatan tinggi merupakan perioritas utama sebagai kendaraan dalam tarian Gala Soro yang digunakan oleh penari beserta tim mereka.
Gala Soro sendiri secara bahasa berasal dari dua kata yaitu kata ‘Gala’ yang berarti memanggil dengan melambaikan tangan agar orang yang panggil itu hendak mendekat tanpa menggunakan suara atau kata-kata, dan kata ‘Soro’ yang berarti maju untuk menyambut. Jadi gala soro secara simbolik berarti penyambutan kepada tamu yang akan tiba dan kita sebagai orang yang memanggilpun harus datang dan siap untuk menyambut tamu yang akan datang tersebut dengan baik. Sehingga Gala Soro ditetapkan sebagai tarian khas dalam acara penyambutan tamu-tamu penting yang hendak datang ke daerah Baranusa dan menjadi kearifan lokal masyarakat Baranusa yang perlu dibanggakan.
C. AKAR KESEJARAHAN TARIAN GALA SORO
Gala Soro sendiri memiliki akar kesejarahan tersendiri dalam kehidupan orang-orang Baranusa. Menurut cerita lokal yang beredar dikalangan masyarakat terutama sesepuh adat Baranusa bahwa praktek Gala Soro ini pertama kali dilakukan oleh istrinya Bori Lako yang bernama Masi We Pada saat ia menyambut suaminya dikala itu telah mengambil kepala perang kerajaan Munaseli yang berma Mau Parra dan Pito Parra pada saat pecah perang Munaselai (Parrang Munna) antara kerajan Baranusa bersama Kerajaan Pandai berhadapan dengan Kerajaan Munaseli.
Pada saat perang Munaseli, antara kerajaan Pandai dan kerajaan Baranusa hampir mengalami kekalahan, karena banyaknya korban jiwa akibat perang, maka dalam Raja Baranusa melakukan jejak pendapat dan mengatur strategi ulang (restrategic) untuk menaklukan kerajaan Munaseli sebagai kerajaan terkuat yang kala itu dipimpin oleh Raja Kosambala yang memiliki kepala perang yang cukup kuat dan sulit untuk dikalahkan oleh kerajan Pandai dan kerajaan Baranusa yaitu Mau Parra dan Pitto Parra.
Dalam jejak pendapat yang dilakukan oleh Raja Baranusa kala itu seperti layaknya orang melakukan sayembara. Karena mengingat kondisi internal kerajaan yang mau mengalami kekalahan total baik itu internal kerajaan Baranusa ataupun kerajaan Pandai. Maka langkah raja kala itu mengumpul pemuka kerajaan (para Panggawa) internal kerajaaan dan menyakan pendapat mereka tentang staretegi macam apa lagi yang harus ditempuh agar mereka dapat menaklukan kerajaan Munaseli yang semakin hari semakin kuat dan telah mengalami tanda-tanda kemenangan yang telah ada dipelopak mata mereka.
Dari jejak pendapat tersebut melahirkan suatu konklusi bahwa kalau ingin menaklukan kerajaan munaseli maka langkah yang harus ditempuh adalah harus menaklukan/membunuh dua kepala perang yang dimiliki oleh kerajaan Munaseli yaitu Mau Parra dan Pito Parra yang kemampuan berperangnya mereka sulit untuk dapat dikalahkan oleh ahli-ahli perang kerajaan Baranusa dan kerajaan Pandai. Dari jejak pendapat terdsebut raja menanyakan kira-kira di internal kerajan Baranusa siapa yang berani dapat menaklukan kedua kepala perang yang dimiliki oleh kerajaan Munaseli tersebut. Dari jejak pendapat tersebut diinternal kerajaan tidak ada yang berani untuk maju atau mengacungkan tangan, karena semua orang sudah mengetahui kemampuan yang dimiliki oleh kedua kepala perang kerajaan Munaseli tersebut.
Tapi, kala itu yang berani dan menyatakan siap untuk membunuh dan membawa kepala kedua orang tersebut dihadapan raja Baranusa. Dan orang tersebut adalah Bori Lako yang menurut Bapak Basonden ia dimotivasi oleh istrinya untuk maju dan menyatakan siap untuk membunuh kepala perang yang miliki oleh raja Kosambala dari kerajaan Munaseli tersebut.
Bori Lako yang menurut sumber lokal menyebutkan bahwa ia secara fisik sangat diragukan untuk membunuh kedua jagoan yang dimiliki oleh kerajaan Munaseli tersebut. Karena secara kasat mata ia memiliki fisik yang kecil dan ramping, dan terlihat sangat lemah dan umurnyapun sudah agak berlanjut usia. Artinya fisiknya sangat tidak menajanjikan kepada orang bahwa ia dapat membunuh Mau Parra dan Pitto Parra yang terkenal hebat itu. Atau bahasa orang lokal, bagi orang memiliki fisik seperti itu ibarat ia tertiup angin saja ia bisa jatuh (angi pui sa hobba). Tapi realitas berbicara lain, Bori Lako mampu menepati janjinya pada raja Baranusa yaitu ia membawa kepala kedua orang tersebut di hadapan raja Baranusa dan mereka menari lego-lego selama tujuh hari tujuh malam atas segala kemenangan yang capai oleh raja Baranusa melalui kerja keras dilakukan oleh Bori Lako yang telah membunuh kedua kepala perang yang dimiliki oleh raja Manuseli (Raja Kosambala).
Bori Lako sendiri adalah seoarang pendatang yang menurut Bapak Basonden Mau Ia dan Istrinya berasal dari daerah Flores bagian timur. Pada saat mereka datang di Baranusa kala itu keberadaannya masih di daearah Wai-Wagang, karena mereka diusir di kampung halaman mereka, dan mereka lari melalui daerah flores timur dan singgalah mereka di Waiwagang dan diterima oleh masyarakat Baranusa. Terusirnya Bori Lako bersama istriinya itu disebabkan oleh kemampuan ilmu hitam (Balack Megic) yang dimilki oleh mereka, sehingga masyarakat setempat tidak senang dan mengusir mereka dari kampung halamannya.
Bori Lako yang secara fisik sangat diragukan tersebut, ia memiliki kemampuan yang sangat strategis kala ia mau membunuh Mau Parra dan Pitto Parra. Pada saat ia menyatakan bahwaa ia mampu membunuh kedua kepala perang kerajaan Munaseli di hadapan Raja Baranusa dan penggawa-pengawa kerajaan. Maka pada malam harinya ia menyuruh istrinya menggorengkan jagung biji (wata gae konggar) menggunakan gerabah yang terbuat dari tanah liat (kawwi/prou) dalam jumlah yang agak cukup banyak kemudian dituang didalam nyiru (buku). Dan ia sendiri mengiris kelapa kering dengan ukuran kecil, kemudian ia campurkan dengan jagung goreng yang telah digoreng oleh istrinya tersebut.
Untuk melanjutkan misinya yang sesuai dengan janji yang ia sampaikan di hadapan raja dan para panggawa tadi, maka ia berpesan kepada istrinya bahwa apabila besok ia pergi dan membunuh Mau Parra dan Pitto Parra, dan apabila ia kembali maka istrinya harus menari dipesisir pantai untuk menyambut kedatangannya.
Dan kemudian tiba waktu yang tepat yaitu waktu subuh maka Bori Lako mulai mengambil segala peralatan yang hendak ia bawa berdasarkan misi yang ia jalankan tersebut. Dan satu pesan penting yang ia sampaikan kepada istrinya ialah bahwa apabila ia pulang diwaktu pagi nanti, apabila sampannya menghadap kearah lautan luas (utara) maka istrinya harus menari menghadap kearah darat, dan apabila arah perahunya menghadap kearah darat (selatan) maka istrinya harus menari menghadap ke arah laut. Dan selanjutnya ia berangkat menuju tempat yang dituju yaitu kerajaan Munaseli. Mengenai misi yang jalankan oleh Bori Lako ini terekam dalam sebuah sya’ir yang berbunyi :

Bori Lako adang mala pipa gasa pito keti,
Gasa pito keti seba lolong, Tua Seba lolong.

Kemudian ia berangkat menuju tempat yang dituju yaitu Tua Seba yang berada di wilayah Munaseli sebagaimana bunyi sya’ir di atas, menggunakan perahu yang terbuat dari daun kelapa dengan cara dianyam (Tena Dundu). Dan tibalah ia ditempat dituju dengan membawa segala peralatan yang telah disediakan yaitu kalewang/mosong, dan jagung goreng yang telah tercampur dengan kelapa yang telah disediakan oleh istrinya tersebut. Setelah tiba ditempat yang dituju tepatnya di bawah pohon tuak yang bernama Tua Seba, maka jagung goreng yang telah tercampur dengan kelapa tersebut ditaburkan di bawah pohon tuak tersebut. Tujuan ditaburkan jagung goreng dibawah pohon tuak itu adalah agar anjing pelacak yang dimiliki oleh Mau Parra dan Pito Parra memakan jagung goreng yang ditaburkan tersebut. Setelah ditaburkan jagung goreng maka langkah selanjutnya adalah memasang duri (tora) di tempat lompatnya Mau Parra dan Pito Parra dari atas pohon tuak, setelah itu ia bersembunyi dibawah semak-semak sambil mengintai Mua Parra dan Pitto Parra.
Dan pada saat pagi tiba, Mau Parra dan Pito Parra datang untuk mencari air tuak di tempat pengambilan air tuak yang bernama Tua Seba. Dan mereka tiba ditempat tersebut, dan langsung memanjat kedua pohon tuak tersebut sampai di ujungnya dan keduanya lansung membuka wadah penadah air tuak yang bernama ‘kolu’. Dan pada saat mereka membuka kolu masing-masing yang terlihat hanyalah dara, pada awalanya Mau Parra membuka kolunya terlebih dahulu yang terlihat adalah darah, dan kemudian ia memanggil adiknya, dan ia mengatakan kepada Pito Parra bahwa Kolu yang dibukanya tersebut terisi dara. Dan begitupun sebaliknya ketika Pito Parra membuka kolunya, hal serupa juga dilihat olehnya. Dan keduanya sambil tertawa dengan mengatakan bahwa Hari ini kita akan menghabisi seluruh orang-orang dari kerajaan Pandai dan kerajaan Baranusa, atas simbol dara yang terdapat didalam kolu tersebut, dan mereka berdua meminum dara yang terdapat dalam kolu tersebut hingga habis, layaknya orang meminum air tuak.
Sehabis mereka meminum darah yang terdapat dalam kolu tersebut, keduanya langsung melompat kebawah seperti kebiasaan yang mereka lakukan, yaitu setelah meminum tuak mereka langsung melompat kebawah. Dan kedua orang ini memiliki ilmu seperti ilmu ninja, masyarakat lokal menamakannya dengan nama ilmu sing sanipal. Pada saat mereka melompat kewah seperti kebiasaan-kebiasaan yang sudah mereka lakukan sebelumnya, pada saat mereka lompat kebawah mereka langsung tertusuk oleh duri (tora) yang dipasang oleh Bori Lako tersebut. Dan pada posisi yang tidak berdaya itulah Bori Lako langsung memenggal kepala mereka berdua, dan langsung ia bawa pulang menuju kerajaan Baranusa.
Setelah misinya tercapai, yaitu memenggal kepala Mau Parra dan Pito Parra, maka dikala itu pula ia langsung pulang menghadap raja Baranusa dengan membawa kepala kedua orang tersebut. Pada saat perjalan pulang menggunakan perahu sambil menyanikan syair seperti kebanyakan orang, dan hingga tiba di daerah kekuasaan kerajaan Baranusa, ia disambut oleh istrinya yang sedang menunggu dikala ia berangkat. Ketika ia mendekat dan diketahui oleh istrinya, maka istrinya mulai menari seperti pesan yang ia sampaikan sebelumnya pada saat ia mau berangkat menjalan misi yang ia janjikan tersebut.
Pada saat tiba di lokasi kerajaan Baranusa ia membawa kepala Mau Parra dan Pito Parra menghadap kepada raja Baranusa beserta para panggawanya, dan semua orang terengah-engah dengan hal yang dianggap mustahil yang dilakukan oleh Bori Lako tersebut. Maka dari itu, raja memerintah kepada seluruh masyarakat untuk melakukan pesta kebahagiaan atas terbunuhnya Mau Parra dan Pito Parra oleh Bori Lako, dengan melakukan Lego-lego (Beku) selama tujuh hari tuju malam, atas kemenangan yang dicapai oleh kerajaan Baranusa melalui tangan Bori Lako yang telah membunuh kepala perang nomor satu dalam kerajaan Munaseli.
Tarian penyambutan yang dilakukan oleh istri Bori Lako (Masi We), itulah menjadi sebuah produk kebudayaan dalam budaya Baranusa yang disebut dengan Gala Soro. Yang pada masa kepemimpinan Raja Boli Tonda di nobatkan menjadi salah satu kebudayaan yang dimiliki oleh orang baranusa hingga hari ini.

D. EPILOG
Dari paparan ini kita dapat menarik sebuah konklusi bahwa tarian Gala Soro merupakan suatu tarian kesenian dalam acara penyambutan tamu penting pemerintahan yang memiliki akar dan nilai historis yang sangat mendalam bagi rumpun adat masyarakat Baranusa, sebab tarian ini sebagai bukti kemenangan kerajaan Baranusa-Pandai atas Kerajaan Munaseli sebagai kerajaan terkuat di tanah Pantar kala itu melalui tangan Bori Lako yang sangat amat cerdik atas dorongan dan motivasi dari sang istri tercinta yaitu Masi We, sehingga penyambutan yang dilakukan oleh Masi-We pada suaminya yang tersayang Bori Lako yang telah berhasil membunuh Mau Parra dan Pitto Parra tersebut, diabadikan sebagai sebuah kesenian tradisional oleh rumpun adat Baranusa dan dikukuh oleh Raja Boli Tonda Baso pada abad ke-17 menjadi salah satu kesenian resmi yang dimiliki oleh masyarakat Baranusa yang dikenal dengan Istilah GALA SORO.

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi para pembaca..!!!
Kupang, 17 Novemver 2018

Komentar

Postingan Populer