KONSEP ALAP SEBAGAI MANIFESTO MONOTEISME-TEOLOGI DALAM MASYARAKAT BARANUSA

 Oleh : Jakaria M. Sali

A. PENDAHULUAN
Teologi dimaknai sebagai pengetahuan tentang ketuhanan, yang secara kebahasaan diambil dari kata dasar Teo yang artinya Tuhan dan kata logi tau logos yang berarti ilmu atau pengetahuan, maka teologi secara etimologi dimaknai sebagai ilmu tentang ketuhanan, dimana Tuhan di pelajari secara sistematis dari berbagai macam aspek yang melingkupinya.
Dalam berbagai suku bangsa yang hidup dalam planet bumi, memiliki konsep ketuhanannya sendiri, berdasarkan perpektif yang dibangun sesuai dengan latar belakang kebudayaan mereka masing-masing, sehingga keyakinan teologis memiliki penyebutan verbal yang sangat berbeda antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain ketika mereka menyebut nama Tuhan.
Dalam agama-agama besar, penyebutan nama Tuhan mereka lebih popular jika dibandingkan dengan komunitas masyarakat lain yang lebih kecil jumlahnya, tetapi itu tidak menjadi suatu ukuran tetentu dalam penggunaan bahasa verbal untuk memaknai nama Tuhan mereka. Agama-agama besar seperti islam menyebut nama Tuhan mereka dengana nama Allah, agama Yahudi menyebut nama Tuhan dengan sebutan Yahwe atau El, Agama Nasrani menyebut Allah sama dengan islam tapi pelafalannya yang agak sedikit berbeda, orang Hindu menyebut Tuhan dengan sebutan Sang Hyang Widi atau Um, orang cina menyebut Tuhan dengan sebutan Ti dan lain sebagainya.
Pelafalan asma Tuhan secara verbal yang berbeda pada tiap Agama berdasarkan bahasa dan kebudayaan masing-masing dan tidak mengurangi sedikitpun hakikat Tuhan sebagai sang pencipta tunggal dalam semesta jagad, termasuk dalam hal ini adalah masyarakat Indonesia yang multi etnik, bahasa dan suku bangsa, tentu pelafalan nama Tuhan secara verbal juga sangat banyak (Plural), misalnya seperti orang Batak menyebut Tuhan dengan nama Naibata, Orang bugis makasar menyebutnya nama Tuhan dengan sebutan Surrogaligo, orang So’e (TTS) menyebut Tuhan dengan sebutan Wis Neno (Tuhan langit) dan Wis Pah (Tuhan bumi), dan dalam hal ini juga yaitu Masyarakat Baranusa sebagai komunitas adat yang menempati Pulau Pantar bagian Barat Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Tuhan menyebut nama Tuhan dengan sebutan “Alap”.
Ini adalah satu bentuk kearifan tata bahasa manusia dalam penyebutan nama Tuhan yang sangat begitu plural, dan tanpa mengurangi esensi ataupun eksistensi Tuhan itu sendiri, Tulisan ini mencoba untuk mengetengahkan bentuk monoteisme masyarakat Baranusa, menggunakan kata Alap sebagai Tuhan yang diyakini oleh mereka sebelum mereka mengenal agama-agama besar seperti Islam yang saat ini menjadi keyakinan mereka.

B. LATAR HISTORIS MASYARAKAT BARANUSA
Secara administratif daerah Baranusa terletak diwilayah Kecamatan Pantar Barat Kabupaten Alor - Provonsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Baranusa merupakan nama ibu kota Kecamatan Pantar Barat yang berpenduduk 99 % beragama Islam. Sebelum dikenal dengan nama baranusa seperti sekarang ini, orang menyebutkan dengan istilah Bara saja, atau orang menyebutnya dengan nama Bara-merang atau Blangmerang, artinya orang-orang bara yang tinggal di dalam gubuk yang beratapkan alang-alang atau daun kelapa. Dan dalam satu merang atau gubuk tersebut tinggallah beberapa keluarga bersama sanak familinya, mereka ini berbentuk komune (klan) yang tiggal bersama dalam satu gubuk (merang), tinggalnya masyarakat baranusa dalam merang ini kemudian sebegaian masyarakat yang tinggal digunung melihat mereka, dan menyebut mereka dengan istilah bara-merang (blangmerang). (Bao Sombo, 2011)
Sedangkan penggunaan istilah Baranusa sendiri diprediksi popular digunakan oleh orang-orang Belanda untuk menyebut orang baranusa yang mendiami tanah baramerang. Baranusa artinya orang bara yang mendiami pulau (nusa) tersebut. Tapi menurut ahli sejarah baranusa yaitu bapak Basonden Mau beliau mengatakan bahwa sebenarnya nama baranusa sudah digunakan pada saat rumpun masyarakat ini tinggal berdekatan dengan orang-orang Pandai di daerah Pulau Pantar bagian timur (sekarang masuk dalam wilayah Kecamatan Pantar-Kabupaten Alor) tepatnya di daerah Wai-Wagang, karena menurut sejarah orang baranusa sendiri bahwa antara pandai dan baranusa merupakan satu keluarga dari satu keturunan yang sama yaitu keturunan Wae Wuno Sere. (Basonden Mau, 05 Agustus 2018).
Baranusa merupakan keturunan dari Bara Mauwolang, yang menurut sejarah lokal baranusa, mereka bermigrasi dari tanah Wai Wagang di pantar timur hendak ke Pulau Jawa menggunakan perahu yang bernama Susundara, tapi ternyata perahu mereka rusak dan kemudian mereka singga didaerah bagang bagian atas yaitu daerah Abbang We Wasing, kemudian mereka diminta oleh raja Siggang yaitu Raja Rupa Take untuk hidup menetap bersama mereka di kerajaaan Siggang. (Bapak Basonden Mau, 05 Agustus 2018)
Setelah itu keturunan Bara Mauwolang bersama dengan sanak familinya yang tinggal di kerajaan Siggang tersebut bermigrasi menempati tanah Pring Sina (Bayyang Onong) dan membangun kerajaan mereka sendiri yang diberinama Kerajaan Baranusa yang dipimpin oleh Raja Boli Tonda, setelah itu mereka bermigrasi lagi ke pulau kura (kabir) sebagai tempat tinggal sementara dalam istilah masyarakat gunung (woto), terjadi migrasinya orang-orang Baranusa dari tanah piring sina ke pulau kura disebabkan terjadi sebuah peperangan antara kerajaan Baranusa dengan Kerajaan Siggang, yang dikenal dalam sejarah baranusa dengan istilah Parang Nuho Taung Bota (Perang Nuho Taung Bota). (Abdul Rasyid Lilo 07 Agustus 2018).
Pada masa kependudukan Belanda masyarakat yang menetap di Pulau Kura diperintahkan oleh belanda untuk datang menetap ditempat yang dinamakan Baranusa yang menjadi Ibu Kota Kecamatan Pantar Barat sekarang. Tetapi masyarakat ada yang datang dan menetap dan ada yang kembali lagi ke Pulau Pura, seperti yang penulis amati saat ini banyak juga masyarakat yang mendiami pulau kura (nuha kura) dengan jumlah penduduk kurang lebih seribu orang. (Bapak Basonden Mau, 05 Agustus 2018).
Latar kesejarahan masyarakat Baranusa seperti yang telah tergambar di atas, tentu memiliki dialektika sejarah yang panjang dan pasti menguras tenaga serta pikiran untuk membentuk kebudayaan mereka sendiri dan bergerak menuju kesempurnaan seperti yang terlihat sekarang ini.
Menurut Kepala Desa Illu Bahron Boli Birang bahwa pada saat orang-orang Baranusa menempati tanah Piring Sina (Lawo Date/Bayang Onong) ada beberapa kebudayaan yang dibentuk oleh Raja Baranusa yaitu Raja Boli Tonda bersama beberapa kepala suku/klan yang pada saat itu mendiami tanah piring sina, kebudayaan-kebudayaan tersebut adalah : 1) Beku Baranusa (tarian lego-lego), 2) Bajo Apa Orong Liang (tradisi tumbuk padi secara bersama menjelang pesta pernikahan dengan menyanyikan syair-syair tradisional Baranusa); 3) Gala Soro (tarian penyembutan tamu-tamu penting); dan 4) Tarian Dani-Dana yaitu suatu tarian yang dilakukan oleh beberapa orang diringi dengan irama gambus. (Wawancara : Bahron Boli Birang, 10 Agustus 2018).
Di daerah Baranusa sendiri terdapat beberapa klan (suku) yang berdomisili di daerah tersebut, terdapat beberapa suku (klan) dan sub suku masing-masing, sebagaimana penulis kutip dalam keputusan Dewan Adat Baranusa tahun 2017, yaitu :
1. Uma Kakang : Uma Peing, Uma Manung, Uma Kissu, Lama Kaluang, Uma Aring (Hukung Uma), Wutung Wala, Kaimoring, Banawala, Karoku dan Beri Manema, dan suku Illu
2. Hale-Weka : Hale (Uma Hale-Weka, Manglolong, Toda Isse, Pali Wala Gelu Laja dan Lampuho
Bao (Maloku Tosiwo, Lamahala, Tarrong, Lakatulli, Makasar, Wato Wuttung, Wata Batta, Bone Rate, Katar, Belasing, Hang Jawa dan Dalu Asang.
3. Sandiata : Uma Kakatua, Uma Beba, Uma Pukko, Uma Du, Uma Tukang, dan Uma Waibaha.
4. Maloku : Uma Deduang, Uma Sanaji, Being Uma dan Uma Tukang

C. KONDISI OBJEKTIF MASYARAKAT BARANUSA
a. Latak Geografis Baranusa
Daerah Baranusa secara geografis letaknya berada dalam Ibu kota Kecamatan Pantar Barat Kabupaten Alor - Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), dengan jumlah penduduk kurang lebih 5000 orang. Dimana secara geografis letak daerah Baranusa sebagaimana berikut : Bagian Timur berbatasan dengan kecamatan Pantar, Bagian Barat berbatasan dengan kecamatan Pantar barat laut, Bagian utara berbatasan atau berhadapan dengan laut flores, Bagian selatan berbatasan dengan kecamatan pantar tengah

b. Kondisi Iklim
Kondisi iklim Baranusa dibagi dalam dua musim, yaitu masim kemarau selama tujuh hingga delapan bulan yang disebut dengan istilah musing lara matang, dan empat bulan musim penghujan yang disebut dengan istilah wara onong, musing wara onong ini terjadi pada bulan Nopember - Desember hingga April-Mei sedangkan musim kemarau berlangsung dari bulan April / Mei sampai dengan Oktober-Nopember dengan tipe iklim C dan D (menurut Schrmit Ferguson) dengan curah hujan rata-rata 600 – 700 mm ( tahun dan suhu berkisar 250 C - 270 C) sehingga kondisi alamnya kering dengan 2 (dua) musim seperti umumnya daerah lain yang ada diwilayah Nusa Tenggara Timur.
Kedua musim tersebut digunakan oleh masyarakat Baranusa untuk melakukan aktivitas bermata pencaharian, terutama pada masyarakat Baranusa yang nota bene bermata pencaharian sebagai petani. Musim kemarau (larra matang) digunakan oleh masyarakat baranusa untuk penebangan pohon dan pembersihan lahan untuk di tanam pada musim hujan tiba (wara onong), dan musim wara onong digunakan oleh masyarakat baranusa untuk menanam tanaman berupa padi, jagung dan umbi-umbian yang nantinya akan dikonsumsi selama satu tahun penuh sebagai stok makanan mereka yang tersimpan dalam lumbung padi yang disebut dengan istilah rubung (balanse) yang disimpan tempat penyimpanan makanan yang disebut dengan istilah kebang.
Hal ini menggambarkan kepada kita bahwa masyarakat baranusa masih tetap tergantung pada kehidupan alam sebagai sumber kehidupan mereka sehari-hari, disamping usaha-usaha lain yang dapat dilakukan oleh mereka untuk meningkatkan tarap kehidupan mereka yang masih jauh dari kata “sejahtera”.

c. Mata Pencaharian
Berdasarkan hasil laporan pamong praja Kecamatan Pantar Barat tahun 2017 yang penulis peroleh, penulis menemukan bahwa masyarakat baranusa merupakan masyarakat memilki ragam mata pencaharian, antara lain yaitu petani, nelayan, buruh pelabuhan, tukang ojeg, pedagang, PNS dan lain sebagainya (Laporan Pamong Praja Kec. Pantar Barat 2017). Namun notobene masyarakat baranusa secara umum bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan seperti yang tergambar pada pemanfaatan iklim seperti yang telah tergambar di atas.
Disamping itu, masyarakat baranusa juga memiliki potensi-potensi keunggulan yang harus diapresiasi sebagai pendapatan tambahan untuk kelangsungan hidup mereka. Potensi-potensi keunggulan tersebut bisa dilahat pada gambar pada table dibawah ini :
1. Perkebunan : Kemiri, Jambu Mente, Asam, Kutu Lak, Bambu,Kelapa, siri, pinang dll.
2. Pertanian Padi, Jagung, Palawija, Ubi Kayu,Ubi Jalar, Kacang tanah, Kacang hijau, sayur-mayur dll
3. Perikanan Ikan, Rumput Laut, Batu Laga, Lola.
4. Peternakan Sapi, Kambing, Rusa, dan Unggas.
5. Kehutanan Jati, Bakau, Kenari, Mahoni dan Cendana.

D. POSISI MASYARAKAT BARANUSA DALAM PEMERINTAHAN
Berdasarkan Hasil Keputusan Dewan Adat Baranusa tanggal 26-27 November 2017 tentang Revitalisasi Nilai-Nilai Budaya adat Perkawinan rumpun adat Baranusa bagi lima Desa dalam Wilayah Kecamatan Panatar Barat dengan Motto “Onong Tou Dangga Alang Bote Biti Lawo Tanah Tang Ro Dike Lelang Ro Alus (Satu hati seiya sekata membangun kampong halaman yang lebih nan indah.
Berdasarkan hasil musyawarah tersebut Pemerintahan Kecamatan Pantar Barat dan juga Pemerintahan Kabupaten alor – Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mengakui bahwa Daerah Baranusa merupakan daerah adat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Baranusa harus tetap dilestarikan.
Dan pemerintahan Kecamatan Pantar Barat – Kabupaten Alor juga mengakui bahwa dalam wilayah Kecamantan Pantar Barat ada lima desa yang termasuk kedalam runmpun adat masyarakat Baranusa yaitu Desa Illu, Desa Baranusa, Desa Baraler, Desa Blangmerang dan Desa Piringsina. Kedalam lima Desa tersebut ada lima Klan/Suku dan sub-sub suku sebagaimana telah tergambar pada poin 2 di atas.
Kelima Klan/suku itulah yang mendiami wilayah Baranusa Kecamatan Pantar Barat Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), dan diantara lima suku itulah yang menjalin hubangan perkawinan antara satu suku dengan suku yang lain, dan menjalankan tradisi adat perkawinan perkawianan yang di wariskan oleh leluhur mereka.

E. KONSEP ALAP SEBAGAI MANIFESTO MONOTEISME-TEOLOGI DALAM MASYARAKAT BARANUSA
Berbicara tentang konsep ketuhanan itu cukup beragam, dilihat dari keyakinan manusa pada zat yang dianggap kedudukannya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan dirinya, dan kemudian disembah oleh mereka yang meyakininya sebagai sesuatu yang dapat menolong ketika mereka membutuhkan pertolongan. Disini dalam berbagai kajian disebut dengan berbagai macam terminologi yang dugunakan, ada yang menyembah banyak dewa maka disebut dengan nama politeisme, dan ada yang hanya menyembah satu dewa saja yang kemudia disebut dengan istilah monotesime.
Dalam konteks masyarakat Baranusa sebagai kounitas yang berpegang kuat pada nilai tradisi yang dimiliki oleh mereka, mereka juga memiliki konsep ketuhanannya sendiri, sebelum mereka mengenal agama besar seperti islam saat ini, namun dalam penggunaan dianggap oleh masyarakat sendiri sebagai hal yang biasa-biasa saja. Tapi dalam hemat penulis bahwa apa-pun konsep yang dimiliki oleh suatu kumunitas terkait dengan keyakinan pada supranatural, itu lahir dari suatu proses dilektika yang panjang antara manusia dengan lingkungan alam yang ada disekitarnya, yang kemudian melahirkan konsensus yang menjadi kesepakatan bersama diantara mereka, ketika mengungkap suatu keyakinan bersama pada kekutan supranatural tersebut.
Berbicara tentang konsep ketuhan pada masyarakat baranusa, pada dasarnya masyarakat baranusa sudah mengenal Tuhan sebelum mereka mengenal agama-agama besar seperti Islam. Masyarakat baranusa menyebut Tuhan dengan istilah “Alap”. Kata Alap dalam pemahaman masyarakat baranusa adalah suatu zal tertinggi yang menjadi asal-muasal dari segala yang ada dalam alam semesta ini, ia adalah zat yang menjadi pemula dari segala yang ada. Dan Alap ini ada sesuatu zat yang tidak bisa diketahui secara indrawi oleh panca indra manusia itu sendiri, namun diyakini akan keberadaannya dalam kehidupan mereka, dan menjadi hakim yang adil dalam setiap perkara yang dihadapi oleh mereka, sehingga perkara apapun yang yang menimpa mereka, mereka menyerahkan segalanya pada zat tertinggi yang kekuasaannya jauh lebih tinggi dari segala apa yang ada di dalam jagad semesta ini, yang mereka sebut dengan nama Alap tersebut, sehingga hal-hal apapun yeng menimpa mereka mereka mereka menyerahkan kepada sang Alap.
Keyakinan pada Alap yang diyakini oleh masyarakat baranusa, ini menurut mereka dapat mengontrol kehidupan mereka, ini akan membentuk kepribadian masyarakat baranusa sendiri, untuk bersikap ekstra hati-hati dalam melakukan sesuatu perkara berupa kerusakan atau kejahatan, karena bagi mereka bahwa apapun yang dilakukan oleh mereka pasti memiliki konsekuensi atau semacam karma dalam tradsisi agama hindu.
Tindakan ekstra hati-hati ini dalam tutur masyarakat adat baranusa kita mengenal istilah “Palolo”. Sebagaai suatu konsep yang membawa konsekuensi secara lansung bagi pelakunya ketika melakukan kejahatan sebagai nacaman dari sang Alap dan para arwah leluhur mereka, maka kata palolo ini sangat ditakuti karena hukumannya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan dosa dalam konsep agama-agama besar atau agama langitan, dan palolo ini merupakan sesuatu yang sifatnya abstrak, tapi konsekuensinya bisa dapat dirasakan secara langsung oleh pelaku kejahatan, seperti pelakunya akan mendapat petaka yang datang menimpanya tanpa ada sebab yang jelas. Maka dalam masyarakat baranusa mereka sangat takut dengan istilah palolo ini.
Kayakina pada Alap ini, tidak memiliki konsekuensi teologis secara praksis seperti dalam agama-agama besar, misalnya ada ritual atau pembaktian yang harus dilakukan bagi orang yang meyakininya, namun dalam kesehariannya tindakan kepasrahan pada Alap itu tergerak dalam jiwa mereka masing-masing, dan biasanya mereka menyempaiakan keluh kesah mereka itu secara langsung kepada sang Alap, yang dalam agama islam semacam seperti konsep tawakal kepada Allah Swt.
Konsep Alap yang telah ada sebelum mereka mengenal agama-agama besar seperti islam mereka tidak menghilangkan istilah Alap dalam teologi islam, yang terjadi adalah semacam penyesuaian Antara konsep Alap dengan Allah dalam islam, sehingga penggunaan kata Alap sebagai tuhan terus digunakan hingga hari ini, seperti dalam praktek kehidupan mereka sering menggunakan kalimat “ Tuang Alap”, “Ti Alap naang parenta”, “Ti Alap Gesing” dan lain sebagainya. Jadi penggunaan kata Alap sebagai Tuhan dalam keseharian masyarakat baranusa itu menunjukan pada Tuhan sebagai zat tertinggi yang menjadi pemula dari alam semesta ini, sehingga ini menjadi dasar bahwa ketika masyarakat baranusa menerima islam tidak ada perdebatan-perdebatan teologis sengit dengan agama besar (islam) tersebut, seputar ketuhan ketika terjadi konversi dari kepercayaan lokal baranusa kedalam islam.
Maka pertemuan antara islam sebagai agama formal yang dianut masyarakat baranusa hari ini dengan kepercayaan masyarakat baranusa, terjadi proses akulturasi yang cukup luar biasa dan menyenangkan untuk dikaji, karena dari tuturan yang ada di dalam masyarakat baranusa bahwa ketika islam masuk kewilayah tersebut, ada ketertarikan masyarakat setempat dengan praktek ritual keagamaan yang mereka jalankan yaitu ritual sholat, maka dari itu mereka berbondong-bondong untuk menerima dan masuk kedalam islam, karena ketertarikan pada rutualisme shalat yang dijalankan oleh penyebar islam yang utus oleh Sultan Babullah Tarnate tersebut.
Kepercayaan pada Alap sebagai kekuatan supranatural dalam keyakinan masyarakat baranusa ini mendorong mereka untuk melakukan tindakan kepasrahan. Bentuk kepasrahan tersebut mereka lakukan dalam bentuk pengungkapan-pengungkapan pada alam secara bebas, yang dalam istilah masyarakat baranusa dikenal dengan nama “Rong ekang among tutu”. Istilah rong ekang amung tutu ini digunakan dalam tiga hal penting, yaitu :
Pertama, sebagai ungkapan kepasrahan kepada Alap atas segala perkara yang mereka hadapi, Kedua, diungkapkan kepada neda/dewa-dewa lokal yang dimiliki oleh setiap klan atau suku sebelum mereka menerima agama besar seperti islam saat ini, dan Ketiga, ungkapan kepada arwah atau roh leluhur mereka masing masing, ungkapan yang terahir pada roh leluluhur ini biasa dikenal dengan gamar atau pemanggilan arwah nenek moyang mereka yang telah meninggal dunia, dengan harapan bahwa para arwah dapat mendengar keluh kesah yang diderita oleh mereka, karena bagi masyarakat baranusa arwah orang yang meninggal itu tetap ada di dalam kehidupan di sekeliling mereka, para arwah yang hidup disekeliling mereka ini dikenal dengan istilah “Kuo Kwoko” yang selalu hidup bersama mereka.
Jadi dapat ditegaskan bahwa konsep monoteisme dalam masyarakat baranusa itu telah ada sebelum mereka menerima islam sebagai agama formal hari ini, dan terjadi sinergitas dalam penyebutan antara istilah Alap dengan Allah yang menunjukan pada esensi ketuhanan yang sama sebagai zat yang maha tinggi dan menjadi asal muasal dari segala yang ada dalam alam semesta, sehingga penyebutannya tidak ada pedebatan antara kedua istilah tersebut.

F. KESIMPULAN
Dari paparan tentang “Konsep Alap Sebagai Manifesto Monoteisme-Teologi dalam Masyarakat Baranusa” ini melahirkan suatu konklusi bahwa masyarakat Baranusa adalah sebagai masyarakat adat yang memiliki nilai tradisi yang melingkupinya, salah satu diantaranya adalah konsep tentang Alap sebagai suatu konep ketuhanan yang merupakan perwujudan dari monoteisme teologi yang dimilki oleh mereka, yang sampai hari ini tetap digunakan dan dapat berakulturasi dengan konsep ketuhanan dalam islam yaitu Allah, yang sama-sama merupakan Tuhan yang maha tinggi yang menjadi asal-muasal dari segala yang ada dalam jagad semesta ini.

Kupang, 20 Desember 2019

Selamat Membaca…..!!
Semoga Bermanfaat...!!

Komentar

  1. Mantap Abang. Kebanyakan generasi masa kini mulai apatis dengan sejarah Lawo Tanah, yang pada akhirnya tertinggal hanya segelintir orang yang tau dan mau tau tentang sejarah lawo tanah, begitu pun saya pribadi sangat ingin tau lebih jauh tentang sejarah Baranusa. Tulisan ini sangat membantu...
    Terima kasih atas inisiatifnya bang... Semoga bermanfaat buat generasi penerus Baranusa...
    Ditunggu artikel selanjutnya Abang. ☺️๐Ÿ‘๐Ÿ‘

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer