PERKAWINAN SEBAGAI PEREKAT SOLIDARITAS SOSIAL ANTAR KLAN

Studi Tentang Budaya Perkawinan dalam Adat Masyarakat Baranusa, Kecamatan Pantar Barat   Kabupaten Alor-Provinsi Nusa
Oleh : Jakaria M. Sali, M.Ud,

ABSTRAK

Baranusa secara administrasi berada dalam wilayah Kecamatan Pantar Barat Kabupaten Alor – Provinsi Nusa Tenggara Timur, dengan jumlah penduduk kurang lebih lima ribu jiwa dan rata-rata (99%) beragama islam dari lima desa yang ada didalamnya yaitu Desa Illu, Desa Baranusa, Desa Baraleer,  Desa Blangmerang dan Desa Piring Sina. Baranusa merupakan satu daerah adat yang sangat kaya akan kearifan lokal, diantara kearifan-kerifan lokal tersebut adalah Beku Baranusa (Tarian lego-lego), Bajo Apa Orong Liang, Gala Soro (tarian penyambutan tamu resmi pemerintahan), dan Dani-Dana. Dan menjadi sorotan atau sasaran dalam penilian ini adalah budaya perkwinan dalam adat masyarakat Baranusa. Didalam adat masyarakat Baranusa kita jumpai beberapa macam perkawinan yaitu Pohi Nawung, Suka Sama Suka, Gere Uma dan Kawin Lari (Plae). Selain itu ada tahapan-tahapan yang dilakukan dalam perkawinan adat Baranusa yaitu Pilling Malu Banga (meminang), Kakari, Antar Wata Oleng, Tang Allo Nikah, Haja Matang, Guo Kawae dan antar Kawae, serta Bapang Pukkong.
Tujuan penilitian ini adalah untuk mengetahui model dan tahapan perkawianan dalam adat masyarakat Baranusa, dan perkawinan sebagai perekat solidaritas sosial antar klan dalam adat masyarakat Baranusa.

Kata Kunci : Perkawinan dan Solidaritas Sosial Antar Klan   

ABSTRACTION

Baranusa is the administration in a subdistrict of West Pantar, Alor Regency, East Nusa Tenggara Province east population less more five thousand’s in habitant’s and average (99%) moslem’s, of the five  villages in it, these are Illu village,village of Baraleer,Village of Baranusa,the village of Blang merang,the village of Piring Sina, Is one regency culture that is very rich in local wisdom, among the local wisdom frozen Baranusa,(dance lego-lego), Bajo Apa Orong Liang,Gala Soro (the dance to atteptance  the guest house on government formalistic) and Dani-dana fund’s became the spotlight of target are the culture marriages assessment in the culture of baranusa. We meet fund some kind of marriage, Pohi Nawung, Suka Sama Suka, Gere Uma and Marriages of run) in either,these stages phareses shy to purposes Kakari, antar wata oleng, tang Allo marriage, Haja matang, Guo Kawae and antar (Accompany) kawae,with Bapang Pukkong.
The purpose research this are knowing to the Shape Model and stages marriages and culture community marriages as Adhesive solidaratiy,Baranusa and intercultural social custom in the clan society of Baranusa.

Keywords : Marriages and Social Solidarity adhesive  between Clan.

PENDAHULUAN
Secara administratif daerah Baranusa terletak diwilayah Kecamatan Pantar Barat Kabupaten Alor-Provonsi Nusa Tenggara Timur. Baranusa merupakan nama ibu kota Kecamatan Pantar Barat yang berpenduduk 99 % beragama islam. Sebelum dikenal dengan nama baranusa seperti sekarang ini, orang menyebutkan dengan istilah Bara saja, atau orang menyebutnya dengan nama Bara-merang/Blangmerang, artinya orang-orang bara yang tinggal di dalam gubuk yang beratapkan alang-alang atau daun kelapa. Dan dalam satu gubuk tersebut tinggallah beberapa keluarga bersama sanak familinya, mereka ini membentuk komune (klan) dan tinggal bersama. Tinggalnya orang dalam merang ini, kemudian orang gunung menyebut mereka dengan istilah Bara-merang/Blangmerang).
Menurut Bapak Basonden Mau bahwa nama Baranusa itu sudah digunakan pada saat mereka tinggal berdekatan dengan orang-orang Pandai di daerah pantar bagian timur tepatnya di daerah Wai-Wagang, karena menurut sejarah lokal bahwa orang Pandai dan Baranusa merupakan satu keluarga dari satu keturunan yang sama yaitu keturunan Wae Wuno Sere.
Orang Baranusa yang mendiami tanah baramerang saat ini merupakan keturunan dari Bara Mauwolang salah satu putra dari Wae Wuno Sere, yang menurut sejarah lokal, mereka bermigrasi dari tanah Wai Wagang hendak ke Pulau Jawa menggunakan perahu yang bernama Susundara, tapi ternyata perahu mereka rusak dan mereka singga di daerah Bagang bagian atas (Abbang Waiwasing), kemudian mereka diminta oleh raja Siggang yaitu Raja Rupa Take untuk menetap bersama mereka di kerajaaan Siggang.
Setelah itu keturunan Bara Mauwolang bersama sanak familinya yang tinggal di kerajaan Siggang bermigrasi lagi menempati tanah Pring Sina (Bayyang Onong) dan membangun kerajaan mereka sendiri yang diberi nama Kerajaan Baranusa yang dipimpin oleh Raja Boli Tonda, setelah itu mereka bermigrasi lagi ke Pulau Kura sebagai tempat tinggal sementara. Migrasi orang Baranusa ke Pulau Kura itu disebabkan oleh sebuah peperangan antara Kerajaan Baranusa deangan Kerajaan Siggang, yang dikenal dengan nama Perang Nuho Taung Bota.
Pada masa kependudukan Belanda masyarakat yang menetap di Pulau Kura diperintahkan oleh belanda untuk datang menetap ditempat sekarang yang dinamakan Baranusa yang menjadi Ibu Kota Kecamatan Pantar Barat sekarang. Tetapi masyarakat ada yang datang dan menetap, dan ada yang kembali lagi  ke Pulau Kura, seperti yang kita amati saat ini banyak juga masyarakat yang mendiami Pulau Kura dengan jumlah penduduk kurang lebih seribu orang.
Menurut Kepala Desa Illu Bahron Boli Birang bahwa pada saat orang-orang Baranusa menempati tanah Piring Sina ada beberapa kebudayaan yang dibentuk oleh Raja Boli Tonda bersama beberapa kepala suku, yaitu : 1) Beku Baranusa (tarian lego-lego), 2) Bajo Apa Orong Liang (tradisi tumbuk padi secara bersama menjelang pesta pernikahan dengan menyanyikan syair-syair tradisional); 3) Gala Soro (tarian penyembutan); dan 4) Tarian Dani-Dana yaitu suatu tarian yang dilakukan oleh beberapa orang diringi dengan irama gambus.
Disamping beberapa tradisi yang dibentuk oleh Raja Baranusa seperti tergambar di atas, ada lagi ragam tradisi lain yang berkembang secara alamiah menuju arah kesempurnaan, salah satu diantaranya adalah Tradisi Perkawinan dalam Adat Masyarakat Baranusa.
Menurut Bapak Muktadir Latif bahwa ada tiga macam perkawinan yang terdapat pada masyarakat baranusa, antara lain; 1) Pohi Nawung, 2) Suka Sama Suka, 3) Gere Uma, dan Kawin Lari (Palae). Selain itu Beliau juga mengatakan bahwa tradisi perkawinan dalam adat Baranusa memiliki beberapa tahapan, diantaranya : 1) Melamar (Pilling Malu Banga), 2) Kumpul keluarga (Kakari) 3) Pesta penentuan Waktu (Tang Allo Nikah) yang diserta dengan Gou Opung-Anang dan Pau Opung-Anang; 4) Pesta Pernikahan (Haja Matang) yang disertai dengan tullung dan pohing, 5) Bapang Pukkong, 6) Guo Kawae dan antar Kawae.
Model dan tahapan perkawinan dalam adat Baranusa tersebut, menjadi sebuah warisan kebudayaan yang ditransformsikan secara turun temurun pada tiap generasi. Hal tersebut menjadi dasar bagi penulis untuk mengkaji berbagai macam kebudayaan yang terdapat dalam Adat masyarakat Baranusa sebagai bentuk-bentuk kearifan lokal yang belum terungkap kepermukaan.
Dalam penilitian ini, dapat diketahui bahwa masyarakat baranusa sebagai suatu masyarakat adat yang memeiliki rasa solidaritas sosial yang tinggi dari berbagai aspek. Indikator  sederhana yang kita jumpai adalah masyarakat baranusa sendiri terdiri dari beberapa suku/klan, dan setiap klan memiliki beberapa marga (fam) yang berbeda-beda, namun memiliki rasa solidaritas yang tidak bisa dibantahkan. Secara umum ada empat klan yang mendiami tanah baranusa, yaitu, suku uma kakang, suku maloku, suku hale-weka dan suku sandiata. Dan dari keempat suku tersebut dalam acara perkawinan mereka saling bahu-membahu untuk menyukseskan hajat perkawinan yang dilakukan oleh seseorang. Bukti saling bahu membahu tersebut diwujudkan dalam bentuk acara kakari dan opung anang dalam pesta Tang Allo Nikah dan Pesta Pernikahan (Haja Matang).

MODEL PERKAWINAN DALAM ADAT MASYARAKAT BARANUSA
Menurut Bapak Muktadir Latif dan Bapak Tabang Kusing bahwa ada tiga model perkawinanan yang terdapat dalam adat masyarakat Baranusa, yaitu :

a. Pohi Nawung
Menurut Bapak Tabang Kusing bahwa sebelum islam masuk di daerah Baranusa, tradisi perkawinan masyarakat baranusa dilakukan secara paksa oleh keluarga perempuan terhadap anak gadis mereka. Pola perkawinan semacam ini ada dua tipe : Pertama, pihak keluarga perempuan menghendaki mempelai laki-laki tersebut kategori sebagai orang berada atau orang yang memiliki harta-benda, dan benda yang menjadi ukuran bagi keluarga perempuan yaitu Moko (wulu pung) dalam istilah masyarakat Baranusa. Kedua, laki-laki yang dikehendaki oleh keluarga perempuan ialah orang yang saudara perempuannya telah menikah dengan saudara laki-laki dari perempuan yang hendak dijodohkan. Maka dalam tradisi adat masyarakat baranusa, pihak keluarga perempuan memaksakan anak perempuannya harus menikah dengan saudara laki-laki dari klan perempuan yang bersangkutan.
Perkawinan semacam ini distilahkan dengan Pohi nawung yaitu suatu bentuk perkawinan yang dilakukan secara paksa oleh keluarga perempuan yang ingin mengawinkan anak gadisnya kepada orang yang dikehendakinya, bukan atas kehendak perempuan itu sendiri. Perkawinan semacam ini tidak memberikan kebebasan bagi perempuan untuk menentukan pilihan hatinya atas orang yang kelak menjadi suaminya nanti. Perkawinan semacam ini kebanyakan dilakukan sebelum islam masuk di baranusa pada abad ke-16 M. Bahkan setelah islam masuk pun, praktek perkawinan semacam ini masih tetap terjadi walaupun ada pengikisan secara perlahan dilakukan oleh mereka.

b. Perkawinan Suka Sama Suka
Perkawinan suka sama suka ini sangat berbeda dengan perkawinan dengan bentuk perkawinan pohi nawung, perkawinan semacam ini lebih mengedepankan etika saling menghargai dari pihak keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan, dan anak gadis juga memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan hatinya senidiri. Perkawinan suka sama suka menurut hemat penulis akan menimbulkan tiga kemungkinan : Pertama, adalah terjadi Gere Uma yaitu perempuan datang ke rumah laki-laki dengan cara tinggal dirumah laki-laki selama satu atau dua minggu, kemudian pihak keluarga laki-laki hendak memberikan informasi kepada pihak keluarga perempuan melalui juru bicara (tawenung alap) tentang keberadaan perempuan yang datang gere uma tersebut, yang nanti akan terjadi pengantaran perempuan tersebut kembali keorang tuanya yang disertai dengan antar wata oleng. Kedua, terjadi Pilling Malu Banga (lamaran), proses lamaran yang dilakukan oleh pihak laki-laki kepada perempauan yang hendak dikawinkan tersebut melalui juru bicara  yang akan menyampaikan maksud dan tujuan kepada pihak keluarga perempuan hendak dilamar tersebut. Ketiga, adalah terjadi Kawin Lari (plae), jika hubungan kedua orang yang saling mencitai tersebut tidak direstui oleh pihak keluarga mereka masing-masing

c. Perkawinan dengan cara Gere Uma
Perkawinan dengan cara Gere Uma pada dasarnya adalah bagian dari perkawinan suka sama suka antara laki-laki dan perempuan yang saling mencintai, dimana untuk mempercepat proses perkawinan perempuan memilih lebih cepat untuk mengikuti laki-laki yang menjadi pilihan hatinya. Maka gere uma adalah pilihan yang dilakukan oleh seorang perempuan sebagai pertanda bahwa perempuan yang mengikuti laki-laki, karena laki-lakilah sebagai kepala rumah tangga yang mengatur kebijakan rumah tangga mereka.
Menurut Bapak B.K Hobol bahwa Proses Gere Uma diawali dengan perempuan yang datang ke rumah pria yang dicintainya, kemudian mengungkap kalimat yang menunjukan bahwa ia tidak akan kembali kerumah orang tuanya. Seperti “Go dai kaing kia, dan go bale-bale lahe kaing (saya datang kerumah ini, dan saya tidak akan kembali lagi keorang tua saya)”, dalam artian bahwa si perempuan tersebut siap untuk dinikahkan oleh laki-laki yang ia cintai dan siap menjadi bagian dari klan laki-laki tersebut.
Lamanya perempuan yang datang gere uma kurang lebih satu minggu, kemudian pihak keluarga laki-laki mengutus tawenung alap untuk memberitahukan pihak keluarga perempuan tentang keberadaan perempuan yang telah datang gere uma tersebut. Dan setelah itu pihak keluarga laki-laki mengantarkan perempuan tersebut untuk kembali kerumah orang tuanya, disertai dengan acara antar wata oleng dan memberitahukan (kastau/maring wakking) kapan mereka menyelenggarkan acara pesta penentuan waktu pernikahan (Tang Allo Nikah).

d. Kawin Lari (Plae)
Kawin lari menunjukan kepada kita, tentang ketidaksepakatan pihak keluarga salah satu diantara kedua orang yang saling mencintai, sehingga kawin lari sebagai pilihan alternatif untuk malajutkan hubungan antara kedua orang yang saling mencinta tersebut. Kawin lari menjadi trend tersendiri bagi suku-suku yang berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Sebelum mereka lari, biasa kedua orang yang saling mencintai menceritakan hubungan mereka kepada pihak keluarga masing-masing, dan jika hubungan mereka tidak direstui oleh keluarga mereka. Maka mereka memilih jalan untuk lari dari kampung halaman mereka, dan pergi ke daerah lain untuk melakukan pernikahan secara sah, dan setelah itu kemudian mereka kembali lagi ke kampung halaman mereka.
Berdasarkan keputusan Dewan Adat Baranusa pada tanggal 26 – 27 November 2017, apabila ada yang melakukan kawin lari/plae maka ia dikenakan denda benda berupa moko dengan ukuran tiga anak panah, dengan pembagian; dua anak panah diperuntukan pada keluarga perempuan dan satu anak panah diperuntukan kepada tawenung alap dan satu anak panah berjumlah tiga juta rupiah sehingga kalau dinominalkan berjumlah sembilan juta rupiah. Namun adat baranusa bukan menghendaki uang tapi benda berupa moko yang menjadi alat denda ketika sanksi adat tersebut dilakukan.

Proses Perkawinan dalam Adat Masyarakat Baranusa
Menurut Bapak Muktadir Latif dan Bapak Tabang Kusing bahwa perkawinan dalam adat baranusa dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu :

1. Meminang (Pilling Malu Banga)
Menurut Bapak Tabang Kusing dan Bahron Boli Birang bahwa proses Pilling Malu Banga ini diawali dengan cara pihak keluarga laki-laki mengundang paman kandung (bapang pukkong) dari pihak perempuan yang hendak dipersuntingkan tersebut dengan tujuan pihak keluarga laki-laki memberitahukan maksud mereka kepada bapang pukkong melalui tawenung alap mereka, kemudian pihak  teweunung alap menanyakan kepada bapang pukkong dari perempuan yang bersangkutan bahwa perempuan yang hendak disunting oleh laki-laki dari klan mereka ini, apakah akan disunting juga oleh pihak bapang pukkong atau tidak?. Dan bahasa yang digunakan oleh juru bicara adalah bahasa kiasan, seperti : “Gama..,gama naang timu lawing nong  gihi lawing ire yang ina narang kia nong na ama narang kia..kia...apakah gama naang anang bapang ening ada onong takka halla?  Kalau lahhe na kame rencana mau ba bapak naang timu lawing nong gihi lawing ire kia naang. Artinya : (Apakah perempuan yang orang tuanya bernama sifulan ini apakah akan dipersunting oleh nak-anak bapak atau tidak, kalau tidak maka kami dari klan laki-laki ini akan hendak menyuntingkannya).
Apabila jawabannya iya, maka pihak tawenung alap laki-laki tidak boleh melamar perempuan yang menjadi kehendak hati laki-laki yang akan menjadikan ia sebagai istri tersebut, tapi jika jawabannya tidak diperuntuk bagi anak laki-lakinya, maka lamaran tersebut boleh dilanjutkan oleh pihak laki-laki yang mencintainya tersebut.
Setelah pemberitahuan pihak keluarga laki-laki kepada bapang pukkong, maka langkah selanjutnya adalah pihak laki-laki mengundang tawenung alap  dari kedua bela pihak yaitu tawenung alap laki-laki dan tawenung alap dari pihak perempuan untuk menyampaikan maksud dan tujuan mereka, sebab posisi tawenung alap perempuan dalam adat baranusa itu dianggap sebagai saudara laki-lakinya sendiri, yang dikenal dengan istilah nang amang.
Pada saat kedua bela pihak bertemu pada waktu yang telah ditentukan maka pihak tawenung alap laki-laki menyampaikan maksud dan tujuan mereka kepada taweung alap dari pihak perempuan, bahwa mereka dari klan laki-laki akan menyunting perempuan yang berasal dari klan mereka, kemudian taweung alap perempuan sendiri yang akan menanyakan kepada perempuan yang bersangkutan, tentang hubungan asmara diantara mereka. Dan menjelang beberapa hari setelah memeriksa (paresa) perempuan yang hendak dilamar tersebut, dan apabila dintara mereka saling mencintai dan ada hubungan asmara diantara mereka berdua, maka itu sebagai tanda bahwa lamaran tersebut akan diterima oleh pihak perempuan, tapi kalau  diantara mereka tidak saling mencintai, atau perempuannya keberatan maka lamaran tersebut bisa ditolak oleh klan perempuan yang bersangkutan. Dan lamanya waktu menunggu informasi (kadire) dari pihak perempuan, biasanya satu atau dua hari bahkan bisa jadi lamanya seminggu, baru pihak keluarga perempuan memberikan jawaban, apakah lamaran dari mereka  diterima atau ditolak.
Menurut Bapak Tabang Kusing bahwa proses pilling malu banga ini bisa batal karena ada tiga hal : 1) Perempuan tersebut tidak mencintai laki-laki yang melamarnya atau tidak ada hubungan asmara diantara mereka berdua. 2) Perempuan yang dilamar tersebut memiliki kekasih lain. 3) Kemungkinan keluarga perempuan tidak menyetujui hubungan mereka. Apabila ketiga hal tersebut terjadi salah satu diantaranya, maka lamaran tersebut dianggap ditolak oleh pihak perempuan. Tapi apabila lamaran tersebut diterima oleh pihak perempuan, maka muncullah bahasa isyarat seperti : tua nasu tapo parre mulai disemarakkan di masyarakat.
Sebelum terjadi proses penerimaan informasi (tarima kadire) dari pihak perempuan, maka pihak perempuan mengutus orang untuk menyampaikan kepada pihak laki-laki tentang kapan waktu mereka akan datang kerumah laki-laki untuk menyampaikan informasi mengenai lamaran mereka telah diterima oleh pihak perempuan. Informasi tentang kapan pihak tawenung alap perempuan akan datang menyampaikan informasi bahwa lamaran dari laki-laki telah diterima. Maka pihak keluarga laki-laki dan tawenung alap juga menyiapkan penyambutan untuk acara menerima tarima kadire yang akan disampaikan oleh pihak perempuan kepada mereka. Dan setelah acara tarima kadire selesai, menjelang satu atau dua minggu, kemudian dilakukan pengumpulan keluarga yang berada dalam satu klan. Kumpul keluarga ini dikenal dengan istilah Kakari. Untuk membagi pikiran tentang jalannya pesta yang akan selenggarakan secara semarak sesuai dengan tradisi yang berlaku yaitu Pitte Matang Dang Lolong.
Menurut bapak Tabang Kusing bahwa pada zaman dahulu apabila proses lamaran telah diterima oleh pihak perempuan, maka jangka waktu persiapan untuk penyelenggaraan pesta pernikahan itu kurang lebih satu tahun,  dalam jeda waktu tersebut pihak laki-laki harus menyiapkan segala kebutuhan menyangkut dengan hajat pernikahan yang akan dijalankan secara semarak tersebut, mulai persiapan dari hal yang terkecil hingga yang besar pada proses pernikahan (haja matang)  nanti.

2. Kumpul Keluarga (Kakari)
Kakari merupakan suatu suatu proses bagaimana masyarakat baranusa merekat solidaritas dalam internal klan yang menyelenggarakan pesta. Jadi dalam adat baranusa jika seseorang menyelenggarakan pesta maka seluruh keluarga (internal klan) harus mengetahui dan mereka memiliki tanggung jawab untuk menyukseskan acara pesta tersebut mulai dari proses awal pesta hinga selesai. Mengenai istilah kakari ini akan dijelaskan oleh penulis pada pembahasan Perkawinanan Sebagai Perekat Solidatas Sosial Antar Klan Dalam Adat Masyarakat Baranusa.

3. Antar Wata Oleng
Antar Wata Oleng adalah bagian dari prakondisi dalam pesta masyarakat baranusa, Proses antar wata oleng ini dilakukan bersamaan dengan  proses pengantaran perempuan yang gere uma tersebut kepada pihak keluarganya, maka harus disertai dengan bahan makanan yang akan dikonsumsi selama masa menunggu acara pesta Tang Allo Nikah tiba. Sebab dalam term masyarakat baranusa bahwa perempuan yang datang gere uma tersebut telah dianggap sebagai bagian dari keluarga laki-laki yang hendak mengawininya, walaupun secara syar’i dan UU belum disahkan, maka ketika hendak ia pulang kepada keluarganya, Ia harus dibekali dengan makanan yang dapat dikonsumsi untuk beberapa saat hingga urusan pesta Tang Allo Nikah diselenggarakan.
Penggunaan istilah antar wata oleng ini dilakukan mengingat bahwa masyarakat baranusa memiliki makanan pokok yaitu berupa jagung, maka minus satu hari sebelum terjadi proses  pengantaran perempuan tersebut kepada keluarganya, maka keluarga satu klan (kakari) dari pihak laki-laki mengumpulkan jagung secara bersama, kemudian keesokan harinya, jagung yang terkumpul oleh pihak keluarga laki-laki tersebut dibawa sebagai perbekalan perempuan yang hendak dikawinkan oleh laki-laki yang mencintainya itu.
Tradisi antar wata oleng ini mulai terkikis secara perlahan-lahan seiring perkembangan zaman, mengingat saat ini bahwa perkawinan yang terjadi didalam adat baranusa lebih menggunakan prosesi lamaran (pilling malu banga) itu jauh lebih dominan jika dibandingkan dengan perkawinan denga cara gere uma dan kawin lari.

4. Pesta Tang Allo Nikah dan Pau Opung Anang
a. Pesta Tang Allo Nikah
Tang Allo Nikah merupakan acara formal dalam proses perkawinan adat baranusa. Dimana semua keluarga dari satu klan berkumpul dan melakukan acara pesta penentuan waktu pernikahan. Pesta penentuan waktu ini disebut dengan istilah Tang Allo Nikah. Dalam acara Tang Allo Nikah, seluruh keluarga dikumpulkan kemudian digelarlah pesta secara meriah, dan pihak keluarga laki-laki mulai melakukan persiapan-persiapan berupa logistik untuk acara pesta tersebut.
Berdasarkan pengamatan penulis bahwa dalam acara Tang Allo Nikah ada beberapa tahapan yang dilaksanakan, diantaranya : 1) Dakang Kueng, yaitu proses pembuatan minyak dari buah kelapa yang dilakukan satu minggu sebelumnya acara pesta dilaksanakan. 2) Tuno Kokis, yaitu peroses pembuatan kue yang dilakukan tiga atau empat hari sebelum acara pesta digelar, baik itu pesta laki-laki atau perempuan. 3) Tullung yaitu satu tradisi dalam acara pesta Tang Allo Nikah dan Pesta Pernikahan.  Dimana ibu-ibu yang diluar klan (inang-bineng/kawine), yang sebelumnya mendapatkan undangan secara lisan (pana guo) yang dilakukan oleh pelaksana pesta laki-laki atau perempuan. Mereka datang ke acara pesta tersebut dengan membawa barang berupa terigu, gula dan beras satu piring (apa piring) atau juga disertai dengan kue yang diisi dalam nampan (dullang), kemudian barang yang dibawa tersebut diserahkan kepada tuan pesta. Mereka yang datang ke acara pesta tersebut disambut dengan ramah, kemudian suguhi kue dan minuman berupa teh atau kopi (ning we renung wai) sesuai selera masing-masing. Setelah itu mereka berpamitan pulang, dan nampan mereka diisi dengan kue-kue sebagai bingkisan dari tuan pesta kepada sanak keluarganya yang ada dirumah. 4) Antar (antaran), yaitu suatu prosesi mengantarkan barang-barang dilakukan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan, dan barang yang diantarkan tersebut berupa beras, terigu, gula, kopi, pisang, minyak kelapa dua botol, gula air, siri-pinang plus kapur, tembakau dan daun koli, rokoh dan kue 17 bokor atau bahkan ada yang lebih 23, 25, bahkan ada yang sampai 33 bokor. Dan barang-barang yang diantarkan ini harus dalam jumlah yang banyak dan sesuai dengan kehendak kedua bela pihak, dan semua barang yang dibawah tersebut diatur oleh taweung alap dan sesepuh dari pihak laki-laki sehingga barang yang diantarkan  tersebut pantas diterima oleh pihak perempuan. 5) Basa Sura yaitu pembacaan surat pinangan dalam acara pesta Tang Allo Nikah, walaupun proses pinangan sudah dilakukan melalui juru bicara  dari kedua belah pihak dalam proses pilling malu banga. Namun dalam adat baranusa apabila dalam acara Tang Allo Nikah harus dibacakan surat pinangan oleh pihak perempuan, dari surat yang diantar oleh pihak laki-laki. Hal ini apabila tidak dilakukan maka acara pesta Tang Allo Nikah dianggap kurang sempurna.
Menurut Bapak Samsuddin Laara (Sekretaris Dewan Adat Baranusa) Ia mengatakan bahwa surat pinangan yang dibacakan dalam pesta Tang Allo Nikah tersebut, mengalami perbaharuan-perbaharuan dari masa ke masa. Menurutnya bahwa pada zaman dahulu sekitar tahun 1950 hingga 60-an surat pinangan yang hendak dibacakan dibungkus dengan sarung tenun khas baranusa dari pintalan benang asli (kapo baranusa) yang ditenun dan bermotif berbagai macam seranga yang ada di daerah baranusa. Kain khas ini disebut dengan istilah Wato Ola yang ukurannya tiga hingga tiga setengah meter. Kain tersebut digunakan untuk membungkus surat lamaran dari pihak laki-laki, dan kemudian dibacakan oleh pihak perempuan dalam acara pesta Tang Allo Nikah. Setelah itu diganti dengan kain tenun ikat (kawate), setelah itu diganti lagi dengan kain putih (sabo), kemudian diganti dengan sajadah dan selimut tenun baranusa dan sapu tangan dengan jumlah sub-klan yang ada pada klan perempuan. Adat Baranusa hanya mengiyakan pembacaan surat pinangan itu hanya berlaku bagi perempuan yang telah dipinang, dan tidak diperbolehkank bagi perempuan yang datang gere uma atau kawin lari. 6) Penerimaan Surat Pinangan, yaitu pihak perempuan menerima pinangan bahasa simbolis, ”Tua Nasu Tapo Pare”. Sebagai pertanda bahwa surat lamaran tersebut diterima dengan senang hati oleh pihak perempuan. 7) Tang Allo Nikah, setelah penerimaan surat lamaran selesai, maka pihak klan laki-laki lalu mengumumkan tentang waktu pernikahan, kemudian pihak perempuan menawarkan kapan waktu yang tepat. Maka dalam adat baranusa penawaran dari pihak perempuan itulah yang menjadi acuan untuk terselengaranya acara pesta pernikahan. kemudian pada malam harinya pihak laki-laki mulai melakukan acara Guo Opung Anang dan Pau Opung Anang.

b. Guo dan Pau Opung Anang
Pada malam hari setelah acara Tang Allo Nikah, pihak keluarga laki-laki mengundang orang-orang diluar klan mereka untuk menyampaikan maksud dan tujuan akan menikah anak laki-laki dengan perempuan yang menjadi pilihan hatinya yang pelaksaan hajat pernikahan (haja matang) sudah ditetapkan dalam acara Tang Allo Nikah pada sore hari tadi, acara mengundang para keluarga diluar klan yang berbeda ini dalam istilah adat baranusa dikenal dengan istilah “guo opung anang”, dan dilanjutkan dengan acara penjamuan yang diistilahkan dengan “pau opung anang”.
Pau opong anang itu sendiri menunjukan pada aktivitas jamuan bersama yang dilakukan oleh orang yang mempunyai hajat, kepada orang-orang yang berada diluar klan, dalam waktu yang bersamaan juru bacara dari pihak laki-laki menyampaikan tentang penyelenggaraan hajat pernikahan. Dan orang-orang yang telah dijamu tersebut memiliki tanggung jawab moral yang dipikul pada saat hajat pernikahan tiba, yaitu mereka akan membawa barang bawaan berupa kambing, bebek, ayam atau yang lainnya. Hewan yang mereka bawah dalam hajat pernikan ini dinamakan dengan istilah pohing.
Semua barang bawaan yang dibawah oleh orang-orang berada diluar klan tersebut dicatat ibaratnya seperti utang yang akan dibayar kelak, tetapi sesungguhnya ini bukanlah utang, tetapi harus ada timbal balik diantara mereka.  jika mereka melakukan hajat nanti maka orang yang menyelanggara pesta hari ini juga akan membawa barang yang sama. Kegiatan pohing ini akan dilaksanakan satu hari sebelum acara pernikahan digelar, dan biasanya dilakukan pada petang hingga malam hari. tradisi ini dilakukan untuk mempererat tali persaudaraan dalam masyarakat Baranusa itu sendiri baik sesama klan atau dengan orang-orang yang berada diluar klan yang mempunyai acara pesta perkawinan.

5. Pesta Pernikahan (Haja Matang dan Larra Nikah)
Acara yang ditunggu-tunggu oleh semua pihak adalah pesta pernikahan. Acara pernikahan ini dilaksanakan memakan waktu empat hingga lima hari, yaitu pra pesta hinga selesai. Acara pra pernikahan biasanya dilakukan persiapan-persiapan baik moril atau materil dari pihak laki-laki dan perempuan, terutama materil yang akan dibelanjakan untuk keperluan pesta. Dan pada waktu yang tepat sesuai dengan tanggal keketetapan pada acara Tang Allo Nikah seperti yang tergambar di atas, maka hajat pun diselenggarakan sesuai dengan hari tanggal yang telah ditentukan tersebut.
Menurut Bapak Tabang Kusing bahwa pada zaman dahulu tradisi pesta pernikahan masyarakat baranusa pada pernikahan hari H, dimeriahkan dengan dua cara. Pertama, satu hari sebelum acara pesta dilakukanlah antaran yaitu pihak laki-laki mengantarkan barang berupa beras, kambing, ayam dan lain sebagainya kepada pihak perempuan, dan barang yang diantarkan tersebut dimasak kemudian dihidangkan pada saat prosesi pernikahan selesai. Kedua, pada saat pelaksanaan hari H pihak keluarga laki-laki juga membawa makanan siap saji yang akan dihidangkan juga pada saat selesai acara pernikahan.
Menurut beliau bahwa makanan makanan siap saji yang dibawah oleh pihak laki-laki disikan didalam gerabah yang terbuat dari tanah liat berukuran besar yang disebut pasul  dan daging di isi didalam kaleng berpersegi emapat dan dibuatlah tali penjinjing yang kuat (hora) yang kemudian digotong menggunakan kayu. Dan daging yang digunakan sebagai lauk pauk tersebut dimasak menggunakan tacul besi yang berukuran besar (Kawa) setelah itu baru diisi dalam kaleng dan digotong (tarewang) menggunakan kayu menuju tempat acara pernikahan.
Keluarga dari kedua klan yang melaksanakan hajat tersebut juga membawakan nasi yang telah dimasak dari rumah masing-masing menggunakan periuk yang terbuat dari tanah liat (kaluba tanah) berdatangan ditempat acara pernikahan, dan makanan yang dibawah tersebut kemudian dimakan secara bersama, tapi dilakukan secara terpisah antara klan laki-laki dan klan dari keluarga perempuan pada saat prosesi makan bersama (asang waking).
Dalam proses pesta pernikhan sama persis dengan acara Tang Allo Nikah, cuman ada beberapa penambahan, seperti : 1) Tullung harus disertai dengan Pohing, yaitu orang diluar klan membawa binatang berupa kambing 1 ekor,atau  unggas bahkan ada membawa sapi, dan disertai dengan 1 piring beras (apa piring), 1 Kg gula pasir, 1 Kg terigu, dan Kg kopi. Dan bianatang yang dibawah pada saat pohing tersebut dinota, agar apabila suatu saat orang yang diluar klan tersebut menyelenggarkan pesta, maka orang yang menyelenggarakan pesta hari ini akan membawa barang yang sama. Acara Pohhing ini hanya berlaku pada klan laki-laki saja, sedangkan hajat perempuan hanya dilaksanakan tullung saja. 2) Antar, proses antaran dalam acara pernikahan ini sama persis seperti dalam acara Tang Allo Nikah, tapi dalam acara Haja Matang harus disertai dengan kambing 7 ekor, ayam, bebek bahkan sapi yang akan dijadikan lauk-pauk dalam acara hidangan nanti. 3) Pau Opung-Anang, adalah suguhan makan malam pada orang diluar klan yang sore harinya istri mereka melakukan tullung dan pohing, maka pada malam harinya suami mereka dipanggil untuk menikmati hidangan yang disediakan oleh tuan pesta laki-laki, sebelum menikmati hidangan malam yang disediakan, mereka dijamu kue dan minuman kopi atau teh sesuai dengan salera mereka. 4) Teleng, yaitu pemberian hadiah perkawinan yang diberikan oleh ibu-ibu kepada mempelai perempuan berupa kain sarung, sprei, piring, gelas dan alat-alat-alat rumah tangga lainya. Telang merupakan salah satu tradisi dalam perkawinan adat baranusa, dan ibu-ibu yang datang melakukan acara teleng tersebut, sebelumnya mereka telah mendapatkan bingkisan kue yang dibagiikan oleh calon pengantin perempuan pada acara pesta Tang Allo Nikah. Orang yang datang teleng disuguhin kue dan minuman teh atau kopi, dan pada saat mereka berpamitan pulang, mereka mendapat bingkisan lagi kue dari pemilik hajat perempuan. 5) Pau Kakari  Uma Onong, yaitu acara hidangan malam yang diberikan oleh pemilik hajat perempuan untuk internal klan dan orang-orang yang berdatangan di acara hajat tersebut. 6) Larra Nikah, yaitu prosesi pernikahan baik menurut ketentuan sya’i atau undang-undang kenegaraan. Hal yang menarik dalam adat Baranusa adalah bahwa acara pernikahan itu harus didampingi (ippe) oleh satu orang bagi laki-laki dan dua orang bagi perempuan beserta  satu atau dua orang anak perempuan yang ditugaskan untuk membawa payung dan maskawin dari mempelai laki-laki kepada calon istrinya. Menurut bapak Tabang Kusing bahwa pada zaman dahulu orang yang mendampingi (ippe) baik itu pengantin laki-laki maupun perempuan adalah muda-mudi yang belum menikah.7) Bapang Pukkong, merupakan pengantaran barang yang diberikan oleh paman kandung dan sanak familinya kepada pengantin perempuan menjelang satu hari setelah acara pernikahan.
Menurut Bapak Tabang Kusing bahwa tradisi bapang pukkong mulai disemarakan sepuluh tahun terahir ini. Dimana dalam acara Tang Allo Nikah dan haja matang pihak keluarga perempuan melakukan acara Pau Bapanng Pukkong yaitu suatu penyuguhan secara khusus yang dilakukan oleh pihak perempuan kepada paman kandungnya. Apabila terjadi demikian maka pihak bapang pukong harus membawa peralatan rumah tangga berupa lemari, pakian, piring, gelas, kain tenun dan lain sebagainya yang diberikan kepada pengantin perempuan yang telah menikah. Menurut Dewan Adat Baranusa bahwa tradisi bapang pukkong ini hanya diperuntuk bagi perempuan yang sudah diberikan belis (weling palang), dan tidak diperuntukkan bagi perempuan yang tidak terkena belis. Tapi, masyarakat baranusa sendiri meyakini bahwa tradisi ini kalau tidak dijalankan dikhawatirkan mendatangkan petaka bagi rumah tangga perempuan telah menikah tersebut, misalnya perempuan tersebut susah mendapatkan keturunan. Sehingga tradisi ini dianggap penting dan tetap dijalankan oleh masyarakat baranusa walaupun Dewan Adat Baranusa melarangnya. 8) Guo Kawae dan Antar Kawae, yaitu acara pemanggilan pengantin perempuan yang dilakukan oleh pihak keluarga laki-laki yang disebut dengan istilah Guo Kawae. Setelah acara pemanggilan dilakukan, maka dari pihak keluarga perempuan hendak mengantarkan anak gadisnya kepada pihak keluara laki-laki yang dinamai dengan istilah Antar Kawae. Pada saat perempuan diantar kerumah mempelai laki-laki, ia disertai dengan barang bawaan berupa lemari, pakian, dan peralatan rumah tangga yang dibawah kerumah suaminya. 9) Loge, Perempuan  yang diantar kerumah laki-laki oleh rombongan dari klan perempuan, dan ia hendak memasuki rumah suaminya, ada sebuah prosesi yang disebut dengan istilah loge, yaitu penyiraman percikan air kelapa yang dilakukan oleh sesepuh perempuan dari pihak keluarga laki-laki (ubeing lalang), sebagai pertanda melepaskan diri dari mara bahaya yang akan merintangi kehidupan rumah tangga mereka kelak. Prosesi loge ini dalam adat baranusa harus menggunakan sarung adat dari klan laki-laki, sebagai simbol bahwa ia telah sah menjadi bagian dari keluarga laki-laki dan ia akan menjadi ibu bagi keluarga tersebut.
Menurut Bapak Tabang Kusing dan Bapak Samsudin Laara bahwa prosesi loge pada zaman dahulu mengunakan kain Wato Ola. Dimana kain tersebut memiliki dua fungsi dalam acara perkawinan adat baranusa : Pertama, sebagai pembungkus surat pinangan pada acara Tang Allo Nikah. Kedua, Sebagai pembungkus perempuan yang hendak masuk kedalam rumah laki-laki yang telah sah menjadi suaminya.
Sebelum prosesi loge dilakukan ada semacam proses ritual kecil yaitu perempuan yang hendak memasuki rumah suaminya air kelapa tua yang diisi dalam tempurung kelapa (Kahha Wullu) diputar tiga kali diatas kepala perempuan tersebut kemudian dibuang air kelapa yang ada didalam tempurung kelapa tersebut dibuang kesebelah kiri. Ritual keci ini sebagai simbol membuang hal-hal negatif bagi perempuan yang baru berumah tangga tersebut, sehingga ritual semacam ini dalam adat baranusa di anggap penting dan perlu untuk dilakukan bagi seorang istri yang baru berumah tangga tersebut.
Orang yang memimpin pelaksanaan ritual ini adalah kawae rabiah yang berpangkat dalam keluarga sebagai saudara ipar dari perempuan yang telah menikah. perempuan yang memimpin ritual ini sambil mengucapkan kalimat-kalimat positif yang mendatangkan keberkahan dan kelanggenagan keluarga dan melahirkan keturunan banyak dan baik. Misalnya kalimat yang diucapkan adalah Matte dike alus yang beta maso ata ra uma lippu nong jadi anang bapak nakking ata raang lalang suku nong ata raang kia.

Perkawinan Sebagai Perekat Solidaritas Sosial Antar Klan
Berdasarkan judul penilitian yaitu Perkawinan Sebagai Perekat Solidaritas Sosial antar Klan, dengan objek peneilitian adalah masyarakat Baranusa. Dengan berbagai femomena masyarakat Baranusa yang kaya dengan kearifan lokal yang dimiliki oleh mereka, maka tipekal masyarakat Baranusa sebagaimana disebut oleh Ferdinan Tonnis dengan istilah Gemeinschaft by blood, yaitu suatu tipe Gemeinschaft yang merupakan ikatan yang didasarkan pada ikatan dara atau keturunan. Misalnya ikatan keluargaan, atau ikatan kelompok kekerabatan. (Soerjono Soekanto, 1987:121)
Melihat tipekal masyarakat Baranusa dengan Gemeinschaft by blood, bisa ditarik suatu hipotesa bahwa masyarakat Baranusa memiliki suatu ikatan kekerabatan atau solidaritas yang bersifat mekanis dan organik seperti kita jumpai dalam karya Emile Durheim tentang The Division of Labor in Sosiety yaitu : bahwa suatu masyarakat yang dicirikan oleh solidaritas mekanis bersatu karena semua orang adalah generalis. Ikatan diantara orang-orang itu ialah karena mereka semua terlibat didalam kegiatan-kegiatan yang mirip dan mempunyai tanggung jawab-tanggung jawab yang mirip. Sebaliknya, suatu masyarakat yang dicirikan oleh solidaritas organik dipersatukan oleh perbedaan-perbedaan diantara orang-orang, oleh fakta bahwa semuanya mempunyai tugas-tugas dan tanggung jawab yang berbeda. (George Ritzer, 2012:145)
Berdasarkan kedua bentuk solidaritas yang telah digambarkan oleh Durheim di atas, dalam konteks masyarakat industri yang dimaksud oleh Durheim, namun bentuk solidaritas tersebut penulis jadikan sebagai kerangka dalam menganilis solidaritas sosial antar klan dalam adat masyarakat baranusa ketika mereka melakukan acara perkawinan. Disini penulis melihat bahwa bentuk solidaritas mekanis yang terdapat dalam masyarakat baranusa itu bisa tergambar dalam ikatan kekerabatan internal klan (in group) ketika mereka melakukan acara perkawinan karena klan tersebut merasa memiliki tanggung jawab yang sama, model ini penulis sebut sebagai solidaritas yang bersifat mekanis dalam term Durheim, dan tanggung jawab diluar klan (out group) seperti tanggungjawab yang dilimpahkan kepada orang-orang diluar klan dengan tanggung jawab yang berbeda ketika menjalankan aktivitas perkawinan seperti opung anang dalam istilah adat baranusa, ini penulis sebut sebagai solidaritas yang bersifat organik.
Dengan pendekatan solidaritas mekanis dan organik sebagaimana dalam perpektif Durheim di atas, maka solidaritas yang terdapat dalam masyarakat baranusa ketika menjalankan aktivitas perkawinan merupakan keterpaduan antara solidaritas mekanis dan organis yang dimaterialisasikan dalam bentuk kakari dan opung anang, sebagai bentuk solidaritas antar klan yang menempati tanah Baranusa ketika melaksanakan hajat pernikahan (perkawinan).

a. Kakari
Istilah Kakari sendiri berasal dari dua suku kata yaitu kata “Kakang” yang artinya “Kaka”, yang menunjukan pada orang yang lebih sulung dalam keluarga, dan kata “Aring” yang berarti “adik”. Jadi kakari ada berkumpulnya seluruh keluarga dari pihak laki-laki ataupun perempuan. Bukan saja berkumpulnya satu keluarga dalam satu rumah tangga saja, akan tetapi berkumpulnya seluruh keluarga  dari satu klan atau satu suku yang terdiri dari marga (fam) yang bebeda, tapi mereka merasa masih memiliki hubungan darah yang sama, yaitu masih punya hubungan satu lalang atau satu klan.
Makna kakari yang dimaksudkan disini adalah berkumpulnya satu klan (suku/lalang) untuk sama melaksanakan pesta yang akan dilaksanakan oleh seseorang dari klan/lalang mereka. Disini dapat terlihat rasa solidaritas sosial diantara orang-orang yang memiliki klan yang sama, dan setiap orang yang berada dalam klan tersebut memiliki rasa tanggung jawab untuk mensukseskan acara pesta yang akan diselenggarakan hingga jenjang pernikahan nanti.
Solidaritas sosial antar klan ini menunjukan aspek kebersamaan diantara beberapa fam yang berbeda tapi mereka adalah satu ikatan kekeluargaan yang terikat oleh dara dari keturunan (nene moyang) yang sama. Inilah yang membuat solidaritas dalam kalangan masyarakat baranusa masih tetap dipertahankan hingga saati ini. Kakari merupakan suatu proses awal untuk menyelenggarakan pesta secara meriah atau dalam istilah adat baranusa disebutkan dengan istilah “Pite matang dang lolong”. Hal ini disampaikan pada saat acara tarima kadire dari pihak perempuan kepada pihak keluarga laki-laki.
Kumpul kakari bertujuan menyampaikan informasi kepada internal klan laki-laki tentang kapan Tang Allo Nikah akan dilaksanakan, jika sudah ada kesepakatan internal maka pihak tawenung alap menyampaikan hal tersebut kepada pihak perempuan tentang kapan pesta Tang Allo Nikah diselenggarakan, kalau sudah ada kesepakatan tentang acara tang allo diselenggarakan melalui tawenung alap kedua belah pihak, maka akan diselenggarakan pesta Tang Allo dan pembacaaan surat lamaran pada prosesi pesta Tang Allo Nikah dilaksakan.

b. Opung Anang
Opung anang dalam perkawinan adat masyarakat baranusa merupakan bagian yang tidak dipisahkan dalam proses pelaksanaan perkawinan. Istilah opung anang merupakan bentuk solidaritas organis dalam term Durheim yaitu suatu solidaritas yang belaku bagi eksternal klan pada hajat perkawinan dalam adat masyarakat baranusa.
Istilah opung anang diperuntukkan kepada saudara yang berada diluar klan yaitu orang-orang telah menikah (gute kawae) dari klan penyelenggara pesta laki-laki, maka mereka inilah disebut dengan istilah opung anang.
Opung anang dalam adat masyarakat baranusa itu ada dua macam : Pertama, Opung anang yang bersifat umum yaitu orang-orang yang berada diluar klan laki-laki yang menyelenggara pesta perkawinan. Kedua, opung anang nimung, yaitu opung anang yang kawin atau telah menikah dengan saudara perempuan dari penyelenggara pesta.
Opung anang adalah orang yang selalu dilibatkan dam proses pelaksanaan pesta perkawinan. Keterlibatan mereka ini dilihat dalam beberapa hal, antara lain poin a dan berikut ini, walaupun secara kesuluruhan pelaksanaan pesta, opung anang selalu melibatrkan diri secara total juga dalam prosees pelaksanaan pesta mulai dari acara pesta Tang Allo Nikah hinga  hingga acara pernikahan :

a. Guo dan Pau Opung Anang serta Asang Opung Anang
Opung anang atau orang yang berada diluar klan ini dilibatkan dalam acara perkawinan antara lain : Pertama, Guo Opung Anang dimana dalam acara pesta Tang Allo Nikah pada malam harinya mereka yang istrinya melakukan tullung pada sosre hari. Pada malam harinya mereka diundang secara lisan (pana guo) untuk datang di acara pesta laki-laki, kemudian mereka disuguhi (ning renung wai) oleh tuan pesta berupa kue-kue dan meminum teh atau kopi berdasarkan selera yang dikehendaki dan dalamacara penyuguhan berlangsung mereka diberikan informasi tentang waktu pelaksanaan pesta pernikahan. Dan mereka memiliki kewajiban untuk melakukan pohhing pada acara pernikahan.
Kedua, pada acara haja matang (pesta pernikahan) opung anang yang istri mereka yang sorenya melakukan pohhing pada pesta laki-laki, berdasarkan nota yang ada, mereka diundang (ata pana guo) untuk dihidangkan pada acara malam harinya. Acara hidangan inilah yang dalam adat baranusa disebut dengan istilah asang opung anang, acara hidangan mala ini disuguhin nasi beserta lauk pauk berupa daging yang dipotong oleh tuan pesta laki kalau kambing berjumlah 3 atau 4 ekor beserta unggas berdasarkan jumlah yang perkirakan sesuai dengan orang-orang yang telah diundang untuk makan malam atau asang opung anang tesebut.

b. Tullung dan Pohhing
Keterlibatan istri opung anang (inang-bineng/kawine) dalam hajat perkawinan  dalam adat baranusa dilakukan dalam acara Tang Allo Nikah dan Haja Matang.  jika pada saat pesta Tang Allo inang-bineng hanya melakukan tulung saja, tapi dalam acara Haja matang atau  pesta pernikahan mereka dilibatkan untuk dua hal sekaligus yaitu Tullung dan Pohhing.
Tradisi Tullung dan Pohing ini menjadi tradisi untuk merekatkan ikatan kekeluargaan dan kekerabatan diantara sesama masyarakat baranusa dari klan yang berbeda-beda yang berdomisili ditanah baranusa Kecamatan Pantar Barat, Kabupaten Alor- NTT. Dan perlu digaris bawahi bahwa dalam proses pesta perkawinan dalam adat baranusa melibatkan semua pihak dari berbagai macam klan yang berbeda, mulai dari awal pelaksanaan hingga ahir pelaksanaan pesta. Sehingga tradisi perkawinan dalam adat baranusa sebagai media untuk merekatkan solidaritas sosial antar klan yang berdomisili di wilayah tersebut. Istilah Kakari dan Opung Anang ini menjadi sebuah kearifan lokal yang dapat menumbuhkan rasa solidaritas baik sesama klan/kakari (in group) maupun dengan orang-orang yang berada diluar klan/Opung Anang (out group)

KESIMPULAN
1. Masyarakat Baranusa sebagai masyarakat adat yang yang secara administratif berada di wilayah Kecamatan Pantar Barat, Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sebagai masyarakat adat masyarakat baranusa masih kokoh dalam memegang nilai-nilai tradisi dan ikatan solidaritas sosial diantara mereka. Solidaritas teresebut tercipta melalui hubungan perkawinan (kawin-mengawin) antara satu klan dengan klan yang lai. Hal tersebut menjadi faktor penting bagi masyarakat baranusa untuk tetap menjunjung tinggi rasa solidaritas sosial antar klan yang ada diantara mereka.
2. Proses jalannya pesta dalam adat Baranusa merupakan manifesto dari solidaritas sosial antar klan. Hal tersebut terlihat dalam rentetan pesta yang diselenggarakan oleh orang Baranusa, mulai dari Kumpul Keluarga (Kakari), Tang Allo Nikah, Guo Opung Anang-Pau Opung Anang, Tullung-Pohing Haja Matang, Guo Kawae dan Antar Kawae, serta Bapang Pukong. Semua rentetan tersebut merupakan bentuk dari rasa salidaritas sosial antar klan yang terdapat pada masyarakat Baranusa, baik itu sesama klan (Kakari) maupun diluar klan (Opung Anang) yang sama terlibat dalam acara pesta perkawinan yang diselenggarakan oleh mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi, 2010
 Prosedur Penenlitian (Suatu Pendekatan).Jakarta : PT Rineka Cipta
Dept P dan K, 1991 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka.

Greetz, Clifford, 1992
 Kebudayaan dan Agama, Jakarta : Kanisius.

Khusumohamidjojo, Budiono, 2000
 Kebhinekaan Masyarakat Di Indonesia : Suatu Problematika Kebudayaan. Jakarta : PT Gramedia Widiasarana

Koentjaraningrat, 2005 Pengantar Antropologi Jilid I. Jakarta : PT Rineka Cipta

____________________,  Pengantar Antropologi Jilid I. Jakarta : PT Rineka Cipta

____________________, Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : PT Rineka Cipta

Liliweri, Alo, 2014

 Pengantar Studi Kebudayaan. Bandung : Nusa Media

Mustopo, Habib M. 1983

 Ilmu Budaya Dasar (Kumpulan Essay-Manusia dan Budaya). Surabaya : Usaha Nasional

Meloeng, Lexy J Metodologi Penelitian Kualitatif,  Bandung : Remaja Rosda Karya

Ritzer, George, 2012 Teori Sosiologi (Dari Sosiologi Klasik sampai perkembangan terakhir Postmodern),  Jakarta : Pustaka Pelajar

Sutrisno, Mudji, (ed), 2005

 Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta : Kanisius (Anggota IKAPAI)
S. Turner, Bryan (ed), 2012

 Teori Sosial (Dari Klasik Hingga Postmodern), Jakarta : Pustaka Pelajar
Nasution, S, 1992

 Metode Penelitian Naturalistik kualitatif, Bandung : Tarsito
Soekanto, Soerjono1997
 Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta : Rajawali Pers
Internet http ://statisticceria.blogspot.com/2012/01/teori-analisis-diskriptif.html. diundu pada tanggal, 28 Oktober 2017.

Komentar

Postingan Populer